ad

Kamis, 18 Juli 2013

Kusni Kasdut, Pejuang yang Terbuang


Revolusi meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem nilai baru. Sedikit orang merenung dan mempertanyakan segala sesuatu dalam revolusi itu. Kebanyakan bertindak, larut tanpa bentuk di dalamnya dan mencari identitas yang terus terlepas. Kalaupun ada, salah satu pencari itu bernama Kusni Kasdut.

Semasa revolusi, Kusni ditugaskan melakukan hal-hal yang waktu itu dianggap perbuatan kepahlawanan. Akan tetapi selewat revolusi, perbuatan itu dinilai sebagai tindak pidana. Cerita demikian memang bisa didengar di mana pun, setelah revolusi selesai. Memang revolusi merupakan penjungkir-balikan segala nilai.


Kusni Kasdut yang bernama asli Waluyo, adalah seorang anak yatim dari keluarga petani miskin di Blitar. Terlahir dengan kemiskinan yang terus menghantuinya, tanpa revolusi, mustahil dapat beristrikan seorang gadis indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan sebagai Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih. Istri yang ia cintai, ia kagumi, bahkan ia puja itu melahirkan tekad untuk memperbaiki kehidupannya.

Ia mencoba mencari pekerjaan yang sepadan dengan martabatnya yang baru, dan kegagalan demi kegagalan ia dapat. Untuk kesekian kalinya,--berbekal pengalaman semasa revolusi ‘45--ia berusaha masuk anggota TNI, tetapi ditolak. Penolakan ini disebabkan sebelumnya ia tak resmi terdaftar dalam kesatuan. Selain itu, pada kaki kirinya terdapat bekas tembakan yang ia dapat semasa perang fisik melawan Belanda. Akibatnya, cacat secara fisik.

Kegagalan-kegagalan tersebut membentuknya ia seolah diperlakukan tidak adil oleh penguasa waktu itu, seperti ‘habis manis sepah dibuang’. Hal tersebut menimbulkan obsesi untuk merebut keadilan dengan sepucuk pistol, membenarkan diri memperoleh rejeki yang tak halal. Terlebih lagi membiarkan anak dan istrinya terlantar. Bersama teman senasip dan seperjuangan yang tak ada harapan untuk menyambung hidup, Kusni pun akhirnya merampok.

Demikian kegagalan sosial ekonomi dan keterdamparan psikologi telah mengantar individu memasuki dunia hitam. Kusni tak sendiri. Masih banyak Kusni-kusni lain, seorang di antaranya adalah Bir Ali. Anak Cikini kecil (sekarang belakang Hotel Sofyan), mantan suami penyanyi Ellya Khadam. Bernama lengkap Muhammad Ali dan dijuluki Bir Ali--karena kesukaannya menenggak bir sebelum melakukan aksi-- menjalani hukuman mati pada 16 Februari 1980. Bir Ali-lah yang membunuh Ali Badjened (seorang Arab kaya raya ketika rumahnya di rampok).
“Ada satu kesamaan antara Kusni Kasdut, Mat Pelor, dan Mat Peci. Mereka dulunya adalah para pejuang '45, memilih jalan pintas untuk menyambung hidup. Mereka kecewa atas penguasa jaman itu karena kurang diperhatikan masa depannya.”

Pada mulanya, Kusni, dengan segala keramahan Usman, Mulyadi dan Abu Bakar mengundangnya masuk, bahkan memberikan posisi memimpin kepadanya. Kebetulan, ia memang dilahirkan dengan garis (instink) memimpin. Dan seperti buah terlarang, hal itu memang manis dan membuat ketagihan. Seperti seorang morfinis, Kusni tak dapat berhenti. Bahkan jeweran kuping dari seorang yang dikasihi dan dihormatinya, Subagio, tak mempan. Pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi, membuatnya memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan yang sah. Hanya untuk menghindari penangkapan, ia rela membunuh korbannya (itupun bila dianggap terlalu terpaksa).

Berbekal sepucuk pistol, tahun 1960-an, Kusdi bersama Bir Ali merampok dan membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri, Kebon Sirih. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan dari jeep. Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu, karena masalah perampokan disertai pembunuhan belum banyak terjadi seperti sekarang ini.

Berselang satu tahun, tepatnya tanggal tgl 31 Mei 1961, Ibukota dibuat geger. Dimana terjadi perampokan di Museum Nasional Jakarta (Gedung Gajah). Bak sebuah film, Kusni yang menggunakan jeep dan mengenakan seragam ala polisi, menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Dalam aksi ini, ia berhasil membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut. Kusni Kasdut menjadi buronan terkenal.

Sekian tahun menjadi buronan, Kusni Kasdut tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan dihukum mati atas rangkaian tindak kejahatannya.


Pada masanya, Kusni adalah penjahat spesialis barang antik. Kisahnya sebagai sosok penjahat berdarah dingin ternyata tidak hanya dikenang oleh para korban atau keluarga korban. Ia juga sempat dijuluki Robin Hood Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi-bagikan kepada kaum miskin. Bahkan sekitar tahun 1979, sebuah media memuat cerita bersambung berjudul “Kusni Kasdut”. Cerita yang mengkisahkan tentang sepak terjang penjahat kakap bernama Kusni Kasdut, yang dalam salah satu aksinya menggegerkan Museum Nasional Jakarta. Juga sempat dijadikan ide untuk lagunya God Bless dengan judul “Selamat Pagi Indonesia” di album Cermin. Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik Kompas.


Masa Tahanan
Dalam keterasingannya di penjara, yang jauh dari orang-orang dicintai, Kusni bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Ini terjadi ketika dalam penjara, ia berkenalan dengan seorang pemuka agama Katolik. Ia pun memutuskan menjadi pengikut setianya dan dibaptis sebagai pemeluk Katolik dengan nama Ignatius Kusni Kasdut.

Rasa cinta terhadap agama yang dianutnya ia coba tuangkan dengan sebuah karya lukisan dari gedebog (pohon pisang). Dalam lukisan tersebut,--yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Gereja Katederal Jakarta--tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik.


Seperti yang dituturkan oleh Eduardus Suwito (pengurus Museum Katedral), “sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral Jakarta. Dan beberapa hari setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati.”

Selain lukisan, Eduardus Suwito juga sempat memperoleh surat dari almarhum Kusni Kasdut. Dalam surat tersebut tertulis keinginannya untuk dapat bertemu dengan keluarganya sebelum eksekusi dijalankan. Surat tersebut juga menuliskan tentang pertobatan Kusni dan pengakuannya akan hal tersebut kepada pihak keluarga.

Sebelum dieksekusi mati, keinginan tersebut terpenuhi. Sembilan jam di ruang kebaktian Katolik LP Kalisosok, Kusni dikelilingi oleh keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuan terakhir Kusni dengan capcai, mie dan ayam goreng.

Seperti dikisahkan oleh seorang pendengarnya. Kusni yang memeluk Ninik berkata, “Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976. Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek.” Ninik dan yang lain menangis. “Diamlah,” lanjutnya, “Ninik kan sudah tahu ayah sudah pasrah. Ayah yakin, Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.”

Begitulah keadaan, dimana Dewi Justitia (Dewi Keadilan) yang menggiurkan itu sekali-sekali perlu minta sesajen. Kusni Kasdut dituntut sebagai sesajen oleh sang dewi, hukuman seumur hidup terlalu ringan bagi seorang napi sekaliber Kusni. Apakah setelah Kusni ditembak, masyarakat menjadi lebih baik dan lebih aman, itu soal lain.
“Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang, dan nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman,” (Sudarto, penasehat hukum Kusni Kasdut)

Memang, Kusni Kasdut bukanlah seorang pembunuh pathologik seperti Eddie Sampak dari Cianjur. Ia tak pernah terperosok ke dalam homoseksulitas seperti Henky Tupanwael. Di relung hatinya yang terdalam masih tersisa seberkas cahaya. Itu bisa dilihat dari usahanya menyelamatkan dua orang plonco dunia kejahatan, Roi dan Yoji, dari kehancuran total. Juga, kelakuannya sebagai napi cukup baik. Ia tak pernah berkelahi dengan sesama napi, dan kalau tak terpaksa tak pernah melawan petugas.

Kusni Kasdut yang sempat dijuluki Robin Hood Indonesia, juga dikenal sebagai si Kancil. Selain gesit dan banyak akal, kemampuan lain yang pernah miliki adalah ia mampu melarikan diri dari penjara mana pun. Kisahnya ini tercatat sebanyak tujuh kali Kusni meloloskan diri dari penjara. Sementara, Jack Masrene, salah seorang penjahat legendaris Perancis, tercatat berhasil kabur dari penjara sebanyak lima kali. Kusni Kasdut mengakhiri hidupnya di depan regu tembak, Jack Masrene mati diberondong di jalanan ketika hendak menyalakan mobilnya yang tengah parkir.

Begitulah akhir dari riwayat perjalanan Kusni Kasdut, yang pada masa perjuangan, ia seorang pemuda yang simpatik, ramah, juga sangat pendiam. Seorang mantan pejuang revolusi yang baik, betapa pun catatan kejahatannya, almarhum Kusni lebih terhormat ketimbang tuan-tuan quisling yang kini menikmati buah manis. Memang sejarah penuh ironi, dimana revolusi memakan anaknya. Dengan tegar, Ia menjalani hukuman mati di depan regu tembak pada 16 Februari 1980.



Puisi Kusni Kasdut

haru – biru

kehidupan adalah perlawanan tanpa penyesalan

kesalahan hanyalah lawan kata kebenaran

selanjutnya engkau pasti tahu

tahun 1976 ku bertobat

semua yang ada tak selalu terlihat

jarak antar saat begitu dekat

situasilah yang memaksa dan membuat kuberlari

rindukan terang

pada pekat malam kuterjang

serpihan paku, kaca dan kawat berduri

bulan tak peduli, turuti kata hati

hati menderu-deru, belenggu memburu

beradu cepat dengan peluru

kusadari hidupku hanya menunggu

suara 12 senapan dalam satu letupan

satu aba-aba pada satu sasaran

yaitu ajalku....

(Ignatius Waluyo AKA Kusni Kasdut, menuju eksekusi hukuman mati pada 16 Februari 1980).

Sumber: Dari berbagai sumber.
(bumipoetra.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar