ad

Jumat, 12 Juli 2013

ISU DAN PERMASALAHAN AKTUAL YANG DIHADAPI POLRI SAAT INI




Pendahuluan

Reformasi polisi telah berjalan lebih dari 10 tahun. Banyak kinerja positif Polri dalam mengawal dan mengamankan proses demokrasi bangsa Indonesia. Pedoman dasar reformasi Polri meliputi aspek instrumental, struktural dan kultural telah diimplementasikan dalam peningkatan kinerja di bidang pembinaan dan operasional kepolisian. Hal ini sesuai dengan tupoksi dengan menetapkan Grand Strategy Polri pada kurun waktu 25 tahun yang meliputi: Trust Building, Partnership Building, Strive for Excellent.

Keberhasilan Polri mengamankan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serta atensi terhadap perlindungan HAM, telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia. Selain itu, penanganan berbagai bentuk tindak pidana berat --seperti terorisme, narkoba, dan human trafficking, baik berdimensi lokal, nasional, regional maupun internasional-- telah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan di lingkup nasional dan internasional. Namun penanganan terhadap tindak pidana yang bernuansa anarkis, destruktif, brutal, massal, dan massif, dirasakan masih belum memberikan hasil yang optimal. Akibatnya, berdampak terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat kepada eksistensi Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta pemelihara Kamtibmas.

Saat ini, kemampuan dan kredibilitas Polri untuk menjalankan tugas pokok, fungsi dan peranannya tengah diuji. Terutama melalui penanganan kasus-kasus seperti kasus korupsi Simulator SIM, penyerangan Mapolres di OKU oleh oknum TNI, penembakan tersangka Polda Jogya di Lapas Cebongan oleh oknum TNI, penganiayaan dan pembunuhan Kapolsek yang melakukan penangkapan para pelaku judi togel di Medan, dan penyerangan Polsek yang mengamankan para pelaku kerusuhan anarkis di Medan. Juga kasus kerusuhan di Palopo dan kasus penolakan eksekusi Komjen Pol (P) Susno Duadji. Berbagai kritik tajam terhadap kemampuan Polri dalam penanganan dan pengungkapan kasus-kasus tersebut pada akhirnya bermuara pada hal-hal yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2002. Sampai kemudian muncul polemik perlunya organisasi Polri berada di bawah struktur suatu kementerian yang tidak langsung di bawah Presiden.

Kritik masyarakat tersebut perlu dimaknai sebagai koreksi bagi Polri untuk melakukan evaluasi kinerja di bidang pembinaan dan operasional. Walaupun pada aspek instrumental dan struktural telah dilakukan berbagai perubahan dan pembenahan, namun pada aspek kultural masih belum dirasakan adanya perubahan yang signifikan baik pada kinerja institusional maupun individual. Hal ini menyiratkan bahwa nilai-nilai filosofis reformasi yang seharusnya dipedomani oleh segenap anggota (pada aspek kultural) belum sepenuhnya terimplementasi dalam tata nilai Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat termasuk pada masyarakat internal organisasi Polri. Tahapan Grand Strategy Polri untuk membangun kepercayaan masyarakat (trust building) dan membangun kemitraan dengan masyarakat (partnership building) belum dapat diwujudkan secara optimal. Bahkan, cenderung kurang dapat diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari operasional Polri.

Tata nilai insan Bhayangkara untuk lebih mengedepankan Nilai Kewajiban daripada semata-mata Nilai Kewenangan belum sepenuhnya menjiwai semua pimpinan dan anggota Polri dalam implementasi pelaksanaan tugas pokok. Hal ini tervisualisasikan dalam berbagai pelanggaran penyalah-gunaan kewenangan (abuse of power) yang kemudian membangkitkan rasa ketidak-sukaan masyarakat (menurunnya trust building) terhadap Polri meskipun dilakukan oleh oknum anggota Polri. Strategi menggeser dan meminimalkan penggunaan wewenang penegakan hukum dengan memaksimalkan strategi Harkamtibmas merupakan suatu keniscayaan. Upaya bermitra dengan masyarakat, pemolisian masyarakat dan menjadikan anggota Polri sebagai agen perubahan budaya dan sikap perilaku bersinergi dengan kearifan lokal menuju masyarakat patuh hukum merupakan harapan masyarakat demokratis. Upaya untuk meminimalisir konflik horizontal dengan institusi terkait --termasuk TNI-- masih belum dirasakan berhasil secara optimal. Hal mana ditandai dengan konflik antara anggota Polri dan TNI di berbagai daerah sebagai gambaran belum optimalnya upaya untuk membangun kemitraan (partnership building) baik dengan institusi terkait maupun dengan masyarakat.

Faktor kinerja internal Polri dalam membina, mengelola dan mengimplementasikan semua sumber daya yang diberikan oleh Negara atau rakyat belum dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Ditandai dengan masih maraknya berbagai penyimpangan (baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah) untuk membebani masyarakat dalam rangka memenuhi keterbatasan kebutuhan operasional anggota di bidang administrasi dan operasional. Perencanaan untuk mengajukan kebutuhan anggaran yang proporsional dan memadai dirasakan masih lemah. Tampak pada ketidak-seimbangan proporsi penganggaran yang diberikan kepada masing-masing fungsi atau kesatuan kepolisian wilayah. Akibatnya, indeks “kebutuhan yang memadai” kurang terpenuhi yang menyebabkan masih terjadinya “penyalah-gunaan wewenang” untuk memenuhi kekurangan kebutuhan anggaran yang memadai tersebut. Di sisi lain terdapat kelebihan sisa anggaran pada fungsi atau kesatuan kepolisian wilayah tertentu.

Berdasarkan gambaran umum tersebut, PP Polri telah menerima masukan, kritik, dan usulan dari berbagai komponen masyarakat dan internal Polri. Masukan dan kritik secara langsung maupun tidak langsung melalui media elektronik dan media sosial. PP Polri pun terpanggil untuk memberikan saran masukan dari berbagai aspek dalam rangka upaya perbaikan kinerja Polri. Dilandaskan oleh gagasan dasar penguatan moral institusi dan anggota Polri agar tetap tegar menghadapi berbagai kritik masyarakat tersebut.


Permasalahan

Permasalahan utama yang muncul kemudian didiskusikan dan dipetakan pada forum diskusi ilmiah PP Polri meliputi:

·         Aspek Manajemen
Bagaimana memperbaiki manajemen pengelolaan sumber daya dan operasional Polri yang menyebabkan masih terjadinya penyimpangan-penyimpangan sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap Polri dari aspek transparansi dan akuntabilitas?

Bagaimana penerapan manajemen penanganan terhadap berbagai bentuk tindak pidana yang bernuansa anarkis, destruktif, brutal, massal, massif, dan bersifat premanisme agar tidak menyebabkan anggota di lapangan menjadi gamang, ragu-ragu, kurang responsif dan bersikap pasif dalam bertindak? Bagaimana mencegah terjadinya tindakan extra judicial baik yang dilakukan masyarakat maupun institusi lain yang akan menurunkan kewibawaan Polri?

Bagaimana upaya meningkatkan sistem deteksi dini dan sistem peringatan dini saat ini di lingkungan tempat tugas dan asrama anggota? Supaya, tidak menyebabkan terjadinya berbagai bentuk tindakan anarkis yang ditujukan terhadap fasilitas Polri dan anggota Polri yang sedang bertugas di lapangan.

Bagaimana upaya untuk meminimalisir potensi konflik vertikal dan horizontal baik dengan kesatuan samping (TNI), instansi penegak hukum lain, ataupun masyarakat agar tidak berkembang menjadi anarkis dan menurunnya koordinasi, harmonisasi, sinergisitas dengan instansi terkait dan masyarakat?

Bagaimana meningkatkan manajemen informasi Polri untuk merespon dan mengantisipasi informasi atau laporan masyarakat terkait masalah Kamtibmas melalui berbagai sumber yang dirasakan masih sangat lamban oleh masyarakat saat ini sehingga menyebabkan masyarakat enggan melapor?

·         Aspek Kepemimpinan
Bagaimana memberikan keteladanan, keterbukaan, kejujuran dan keberanian dalam bertanggung-jawab?

Bagaimana menerapkan secara konsisten dan konsekuen pengawasan melekat?

Bagaimana upaya meningkatkan motivasi anggota melalui penerapan kembali secara konsekuen dan konsisten metode reward and punishment?

Bagaimana mencegah penyimpangan kewenangan (abuse of power) melalui upaya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing pimpinan (baik fungsional maupun operasional) secara berjenjang?

·         Aspek Legislasi
Bagaimana memperbaiki kinerja organisasi dan operasionalisasi di lapangan untuk mencegah upaya menempatkan struktur organisasi (status) Polri di bawah suatu kementerian?

Bagaimana upaya menyikapi perubahan dan amandemen perundang-undangan yang terkait dengan tugas pokok Polri (antara lain KUHAP, KUHP, Kamnas, dan Kementerian) untuk mencegah “pengkebirian kewenangan Polri” dan “overlapping” dalam pelaksanaan tugas di lapangan dengan instansi lain?

Bagaimana upaya menyikapi pelaksanaan keputusan hukum yang “tidak sempurna” atau “cacat hukum” berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan friksi dengan instansi penegak hukum lainnya dan melanggar HAM terhadap oknum anggota Polri, mantan anggota Polri maupun masyarakat (antara lain kasus Komjen Pol Purn Susno Duadji)?


Analisis Faktor Penyebab

·         Aspek Manajemen
Prolap dan Perkap fungsi Pembinaan dan Operasional yang berlaku saat ini terkesan belum dikaji kembali secara komprehensif dan cermat dengan menyesuaikan perkembangan dinamika sosial yang ada. Kurang disosialisasikan, tidak dilatih secara rutin dan bahkan mungkin diabaikan dalam pelaksanaan kegiatan manajemen sumber daya dan manajemen operasional di lapangan.

Tidak dilaksanakannya secara konsekuen, transparan dan akuntabel sistem dan mekanisme yang berlaku dalam pengelolaan sumber daya baik sumber daya manusia, anggaran, maupun sarana prasarana. Akibatnya, masih ditemukan berbagai pelanggaran dalam pembinaan personil (rekrutmen, pendidikan Polri berjenjang, penempatan, dan pembinaan karir), pengadaan sarana prasarana administrasi/operasional (sarat dengan kolusi dan nepotisme), dan anggaran (kurang proporsional dan penyimpangan dalam penyalurannya).

Kelemahan pengawasan dan penindakan terhadap penyalah-gunaan wewenang yang mengarah pada tindak pidana korupsi di lingkungan Polri yang masih terus terjadi, baik di tingkat pimpinan, di tingkat pembantu pimpinan, maupun di tingkat pelayanan/petugas di lapangan. Pada tingkat pimpinan antara lain penyalahgunaan wewenang/kebijakan, gratifikasi, namun hanya sedikit yang diproses internal dan/atau ditindak. Pada tingkat pembantu pimpinan atau manajer tingkat menengah berupa praktik penyimpangan pelayanan secara sistemik, rekrutmen, kenaikan pangkat atau jabatan, dan dalam pelaksanaan pendidikan. Pada tingkat petugas di lapangan, berbagai pelanggaran seperti pungli, gratifikasi, manipulasi kasus/pasal, mencari kesalahan/pelanggaran untuk “didamaikan”, keterlibatan/melindungi kejahatan/pelaku kejahatan, masih sedikit yang ditindak dan terkesan dibiarkan dan dipelihara oleh atasan, bahkan terjadi secara sistemik.

Semangat Polri untuk memberantas korupsi di lingkungan Polri yang telah dideklarasikan terkesan masih sebatas pada retorika atau masih terfokus pada konsepsi saja. Teramati melalui kinerja Polri, di bidang pemberantasan korupsi yang dinilai masyarakat belum optimal.

Dalam upaya membersihkan korupsi, peran Polri secara internal belum nampak konsepsional dan kesungguhan. Kasus korupsi simulator SIM seolah menjadi tonggak terbukanya aib Polri. Terungkapnya kasus tersebut membentuk opini masyarakat yang di-blow up oleh media seolah praktik korupsi di lingkungan internal sudah sistematik. Kasus tersebut menyebabkan pula terkuaknya aset kekayaan pejabat Polri yang diperoleh dari hasil korupsi. Opini yang terbentuk antara lain umumnya jenderal Polisi dan pejabat Polri memiliki rekening gendut (termasuk gaya hidup pejabat Polri yang bersifat glamor), masih banyak kasus korupsi lain yang belum diungkap, Polri tidak serius menindak-lanjuti oknum Polisi yang korupsi, dan masih banyak kewenangan Polri lainnya yang menjadi sumber korupsi bagi oknum petugas dan pimpinan Polri.

Belum ditemukannya solusi strategik dan upaya nyata di lapangan yang cepat, tepat, normatif, dan efektif dalam mencegah dan menindak segala bentuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat (bersifat anarkis, destruktif, brutal, massal, massif, premanisme). Hal ini disebabkan oleh sanksi yang dikenakan tidak bersifat deteren; sifat “lepas tangan dan lepas tanggung jawab” instansi terkait lainnya sehingga seolah menjadi “tanggung jawab” Polri semata; pemanfaatan oleh oknum-oknum Polri, instansi tertentu, parpol, ormas, perbankan, atau bahkan masyarakat yang sudah tidak percaya dengan kemampuan Polri memberikan perlindungan dan pengamanan; ketidak-tegasan perintah pimpinan untuk menindak tegas dan melepas tanggung jawab pada anggota pelaksana di lapangan; dan inkonsistensi dalam kegiatan penanganannya baik dalam kegiatan rutin maupun operasi khusus kepolisian.

Belum optimalnya kemitraan dengan tokoh-tokoh: masyarakat, adat, agama, dan pemuda yang dapat dimanfaatkan sebagai unsur deteksi dan peringatan dini serta kurang diperhatikannya intensifikasi pelatihan sistem pengamanan markas, pelaksanaan Polmas, dan optimalisasi pemanfaatan peralatan teknologi yang dimiliki Polri.

Kurang intensifnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang bersifat menanamkan ikatan persaudaraan dan kebersamaan dengan institusi TNI seperti silaturahmi; kegiatan sosial dan olah raga bersama; kegiatan operasional terpadu (pengamanan, razia, patroli); penerapan sistem hukum yang transparan, tegas proporsional dan obyektif; serta pertemuan rutin.

Maraknya media elektronik dan media cetak menyajikan berita yang memperlemah kewibawaan penegak hukum telah memberi andil yang signifikan dalam membangun dan mempengaruhi persepsi dan opini masyarakat terhadap suatu peristiwa. Banyak terjadi kerawanan saat ini tidak lepas dari cara media memotret atau menguraikan suatu permasalahan.

Media massa saling berlomba menyajikan berita negatif (mengusung kaidah media: Bad news is a good news) dan memperebutkan rating tertinggi tanpa peduli dampak yang ditimbulkannya terhadap kewibawaan Negara. Sebagai contoh televisi yang dulunya dikuasai oleh negara, sehingga rating tidak diperlukan (televisi publik), saat ini telah berubah menjadi “socio TV” yang lebih memerlukan rating demi kepentingan komersial daripada kepentingan negara.

Tidak jarang pula, pemilik stasiun TV terjun ke dunia politik sehingga di dalamnya akan memiliki dua kepentingan, yaitu kepentingan komersial dan kepentingan politik. Dengan demikian, persepsi masyarakat dibentuk secara tidak utuh oleh media dan tidak jarang telah menyebabkan masyarakat Indonesia bersitegang satu sama lain.

Kurangnya akses informasi masyarakat yang bisa didapatkan dari Polri atau Pemerintah menyebabkan informasi yang diterima masyarakat merupakan hasil pemberitaan yang tidak berimbang dan telah dipilih-pilih sesuai kepentingan komersial. Belum efektifnya saluran dalam penyajian informasi oleh Polri dan Pemerintah, bahkan seakan tidak berdaya menghadapi oknum-oknum yang memberikan informasi menyesatkan dan propaganda melalui media internet, sekalipun telah ada Undang-Undang tentang IT.


·         Aspek Kepemimpinan
Masih lemahnya penerapan aspek kepemimpinan di berbagai strata kepemimpinan dalam mengelola dan membina organisasi. Antara lain dalam hal pemberian keteladanan (ing ngarso sung tulodo) dalam sikap dan perilaku sehari-hari, penyimpangan dalam penggunaan anggaran dan materiil, serta kurang obyektif dalam pembinaan personil dan masih mengedepankan kolusi dan nepotisme daripada sistem. Keteladan masih terasa kurang karena yang tampak sehari-hari gaya penampilan glamor melalui perlengkapan pribadi, kendaraan pribadi, yang menyiratkan pola “kemewahan” di saat dinas maupun di luar dinas; sikap otoriter dan arogan baik di lingkungan internal maupun eksternal; sangat resisten dalam menerima pendapat orang lain kendati sebenarnya pendapat itu sangat positif dan konstruktif; mengabaikan sistem dan tatanan yang berlaku saat ini; melepas tanggung jawab kepada anggota; dan bergaya ’komandan’ bukan ‘pemimpin’.

Masih lemahnya sistem pelaporan dan pendataan dalam setiap melaksanakan tugas. Akibatnya, sulit untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan dan mengantisipasi peristiwa atau kejadian serupa di kemudian hari.

Ada rasa sungkan dan enggan mengawasi dan menindak berbagai bentuk kesalahan yang dilakukan anggota karena status anggota tersebut (anak atau keluarga mantan pimpinan) atau “pembiaran” karena penyimpangan yang terjadi “menguntungkan” dari segi materi dan fasilitas baik bagi kepentingan pribadi maupun kesatuan.

Dalam hal pembinaan personil, masih ada opini yang berkembang di lingkungan internal dan eksternal Polri bahwa “orang yang dekat dengan Pimpinan” akan mendapatkan prioritas. Bukan didasarkan pada prestasi kerja atau senioritas dalam jabatan, kepangkatan, dan usia. Selain itu, penerapan metode “reward and punishment” masih belum dirasakan konsekuen dan konsisten sehingga mempengaruhi motivasi anggota dalam bekerja.

Belum disusunnya kode etik perilaku (code of conduct) sebagai bagian dari kode etik (code of ethic) sehingga masih terjadi berbagai bentuk penyimpangan terutama penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) yang menjadikan atensi dan kritik keras dari kelompok HAM, Kompolnas, LSM terkait, termasuk masyarakat.

Peran untuk mengembangkan, membangun dan menyiapkan kader-kader penerus terpilih kurang optimal. Akibatnya, personil-personil yang potensial secara pengetahuan dan pengalaman merasa tersisih dan berkembang menjadi “barisan sakit hati”.

Perlindungan organisasi terhadap anggota dan mantan anggota Polri yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum masih lemah. Dengan begitu, anggota atau mantan anggota Polri cenderung mencari perlindungan ke lingkungan eksternal dan pengambilan keputusan cenderung masih mengikuti atau berdasarkan opini yang berkembang.

·         Aspek Legislasi
Masih kurang atensi dan respon pihak-pihak tertentu terhadap upaya untuk menempatkan Polri tidak langsung di bawah Presiden. Mereka  mengusung berbagai isu dan pertimbangan melalui lembaga legislatif.

Upaya dan atensi terhadap rencana revisi dan perubahan perundang-undangan yang terkait dan menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas pokok serta kewenangan Polri dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat diamati dari “keikutsertaan” wakil Polri yang sering dikirimkan wakil/peserta anggota Polri yang tidak kredibel/kompeten di bidangnya. Sehingga, dalam pembahasan RUU tersebut cenderung hanya sebagai penonton dan kehadirannya dalam forum tersebut sekadar legalitas.

Lobi-lobi, pendekatan, koordinasi dengan pihak yang terkait terutama anggota legislatif (baik yang berasal dari mantan anggota Polri maupun parpol pendukung) masih belum intensif.

Peran para pakar, LSM, dan masyarakat terkait dengan substansi perundang-undangan yang akan direvisi masih belum optimal dan intensif. Akibatnya, RUU yang diajukan masih menempatkan Polri pada posisi yang lemah dan kewenangannya semakin “digerogoti”.

Koordinasi dengan instansi penegakan hukum terkait masih lemah dan kurang intensif. Hal ini teramati melalui masih banyaknya perbedaan persepsi hukum dalam penanganan suatu perkara hukum yang tidak sesuai dengan hukum acara tapi cenderung mengedepankan “kewenangan dan kekuasaan” suatu instansi penegak hukum dengan mengabaikan kebenaran formil maupun materiil.


SARAN SOLUSI PERMASALAHAN

·         Aspek Manajemen
Mengkaji kembali secara cermat kelemahan-kelemahan sistem, mekanisme, dan prosedur yang berlaku, yang dimanfaatkan sebagai peluang terjadinya berbagai penyimpangan pelaksanaan manajemen pembinaan dan operasional Polri (didasarkan pada data dan fakta yang terjadi hingga saat ini). Kemudian diperbaiki dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Itwasum, Divpropam, dan Litbang Polri.

Kaji, evaluasi dan revisi manajemen Wasdal dan Waskat berdasarkan kelemahan-kelemahan yang ditemukan di lapangan saat ini dengan melibatkan instansi terkait baik di bidang administrasi, pembinaan maupun operasional.

Meningkatkan peran-fungsi pengawasan dan audit internal Polri secara bottom up untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan manajemen sumber daya baik personil, anggaran, sarana prasarana/materiil maupun pemutakhiran sistem yang berlaku.

Kaji kembali Protap dan Perkap yang ada dan berlaku secara cermat disesuaikan dengan dinamika perkembangan sosial, budaya, kriminalitas dan sikap masyarakat saat ini. Terutama untuk menghadapi, menangani tindak kejahatan yang bersifat anarkis, destruktif, brutal, massal, massif, premanisme. Kemudian sosialisasikan secara intensif, latihkan secara reguler dan pedomani dalam setiap pelaksanaan kegiatan operasional di lapangan.

Tingkatkan koordinasi, kerja sama, silaturahmi, kegiatan bersama --baik sosial, olah raga maupun pelibatan dalam kegiatan khusus -- untuk tetap menjaga harmonisasi dan sinergisitas serta menumbuhkan “jiwa kebersamaan” dengan instansi terkait (TNI, Penegak Hukum, dan lain-lain) dalam rangka mengoptimalkan program kemitraan (partnership building).

Evaluasi kembali sistem deteksi dan peringatan dini. Terutama pada kesatuan-kesatuan kewilayahan dalam rangka mencegah dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya tindakan anarkis terhadap kesatuan, asrama maupun anggota di lapangan dan sebagai dasar permintaan bantuan perkuatan dari kesatuan atas atau samping.

Galakkan kembali pendekatan “Quick Response” dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan terapkan metode “Reward and Punishment” terhadap anggota di seluruh fungsi dan jajaran kewilayahan. Lakukan audit berkala terhadap pelaksanaannya untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat (trust building).

Usulkan melalui forum Kemenkumham, Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengkaji, mengevaluasi dan merevisi kembali sanksi hukuman yang “bersifat deteren” terhadap para pelaku kejahatan anarkis, massal, narkoba, terorisme, dan premanisme. Dan laksanakan secara terpadu operasi pemberantasan premanisme dengan melibatkan peran seluruh instansi terkait dan masyarakat.

Optimalkan peran Pusat Informasi Kriminal Nasional untuk mendata para pelaku kejahatan termasuk para preman yang meresahkan masyarakat. Juga memetakan wilayah yang rawan kejahatan sesuai dengan jenis kejahatan yang sering terjadi di wilayah tersebut untuk mempercepat proses penanganan atau pengungkapan suatu perkara kejahatan.

Aktifkan kembali Police Call Center di seluruh jajaran kewilayahan Polri untuk menampung informasi, keluhan dan permintaan bantuan masyarakat yang harus segera ditindak-lanjuti pada kesempatan pertama. Namun perlu diawaki oleh personil yang profesional dengan tetap diperhatikan kesejahteraan dan pembinaan karirnya.

Kaji dan evaluasi kembali jumlah kekuatan anggota dan peralatan pada kesatuan-kesatuan kewilayahan yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi dan lengkapi secara proporsional agar dalam penanganan gangguan kamtibmas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Kaji, evaluasi dan revisi peran Humas Polri untuk mencegah dan mengantisipasi pembentukan opini negatif terhadap Polri oleh media massa dan media sosial. Hal ini untuk mengurangi dampak pada menurunnya kredibilitas, kewibawaan dan motivasi anggota.

Publikasikan keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh satuan fungsi atau satuan operasional untuk memberikan penilaian yang seimbang dari masyarakat dan media massa serta memulihkan kembali citra positif (image) Polri.

Optimalkan peran Kompolnas untuk memberikan masukan terhadap kinerja Polri. Jadikan bahan masukan Kompolnas untuk perbaikan aspek-aspek manajemen Kepolisian.

Implementasikan strategi dan kebijakan pemberantasan korupsi di lingkungan internal Polri dengan melibatkan peran mantan-mantan penyidik KPK yang telah bertugas kembali di Polri, Irwasum Polri, Divisi Propam Polri dan fungsi Inspektorat Pengawasan di satuan kewilayahan Polri.

Lakukan langkah-langkah penyelidikan internal terhadap potensi kerugian negara (korupsi) --terutama dari manajemen pembinaan dan manajemen operasional Polri (fungsi sarpras, fungsi personil, fungsi reserse, fungsi lalu lintas, fungsi pembinaan)-- agar tidak kemudian ditangani oleh instansi penegak hukum lain (KPK atau Kejaksaan).

Optimalkan fungsi pengawasan penyidikan terhadap penanganan suatu perkara (baik di kesatuan kewilayahan maupun di Bareskrim Polri dan lidik) secara obyektif, normatif dan profesional terhadap setiap permohonan perlindungan hukum untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat yang terlibat dalam suatu perkara.

Optimalkan fungsi dan peran pengaduan masyarakat (Dumas) dan distribusikan pada kesempatan pertama kepada fungsi atau kesatuan kewilayahan yang terkait dan mintakan laporan hasil tindak lanjut yang telah dilakukan untuk kemudian didata.

Tingkatkan koordinasi dan silaturahmi secara intensif dengan institusi penegak hukum lainnya seperti KPK, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Pengadilan, Mahkamah Konstitusi dan PPNS untuk menjalin hubungan emosional yang lebih erat. Dengan demikian untuk hal-hal tertentu yang disebabkan oleh perbedaan persepsi/penafsiran hukum tidak terpublikasikan ke publik/media massa.

·         Aspek Kepemimpinan
Kaji dan evaluasi kembali penerapan aspek kepemimpinan di berbagai strata kepemimpinan dalam mengelola dan membina organisasi dengan memberikan antara lain keteladanan (ing ngarso sung tulodo) dalam sikap dan perilaku sehari-hari; membuat suatu sistem pengawasan yang transparan dan terukur untuk mencegah penyimpangan dalam penggunaan anggaran dan materiil/sarana prasarana; dan secara konsekuen selalu mempedomani sistem, menakisme dan prosedur yang berlaku dalam pembinaan personil guna mencegah kolusi dan nepotisme. Pemberian keteladan untuk menghindari gaya penampilan glamor dan sikap otoriter. Juga agar akomodatif menerima pendapat orang lain, taat pada sistem yang berlaku, bertanggung-jawab terhadap ketiap keputusan yang telah dilakukan anggota, dan meninggalkan gaya ‘komandan’ serta menerapkan pendekatan bottom up.

Mengintensifkan kembali sistem pelaporan dan pendataan dalam setiap melaksanakan tugas. Sehingga, mudah mengetahui keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan dan mampu mengantisipasi peristiwa serupa di kemudian hari.

Mengenyampingkan rasa sungkan dan rasa enggan mengawasi dan menindak berbagai bentuk kesalahan yang dilakukan seorang anggota hanya lantaran status anggota tersebut (anak atau keluarga mantan pimpinan). Tinggalkan sikap “pembiaran” terhadap suatu penyimpangan karena dari segi materi dan fasilitas “menguntungkan” kepentingan pribadi dan kesatuan.

Dalam pembinaan personil sebaiknya berpedoman pada sistem yang berlaku untuk menghilangkan opini yang berkembang di lingkungan internal dan eksternal Polri bahwa “orang yang dekat dengan pimpinan” lebih diperhatikan, bukan didasarkan pada prestasi kerja atau senioritas dalam jabatan, kepangkatan maupun usia. Penerapan metode reward and punishment yang konsekuen dan konsisten diharapkan mampu meningkatkan dan mempengaruhi motivasi kerja anggota.

Perlu disusun kode etik perilaku (code of conduct) sebagai bagian dari kode etik (code of ethic) dengan melibatkan pakar dan fungsi terkait untuk meminimalisasi berbagai bentuk penyimpangan --terutama dalam penyalahgunaan wewenang (abuse of power)-- yang menjadikan atensi atau kritikan keras dari kelompok pegiat HAM, Kompolnas, LSM terkait, dan masyarakat.

Optimalkan upaya mengembangkan, membangun dan menyiapkan kader-kader pengurus terpilih. Dengan begitu, personil-personil yang potensial secara pengetahuan dan pengalaman menjadi prioritas utama dalam proses kaderisasi yang “sehat” dan “obyektif”.

Berikan perlindungan organisasi kepada anggota dan mantan anggota Polri yang terlibat suatu peristiwa hukum secara normatif dan proporsional. Dengan demikian akan menghilangkan kecenderungan anggota atau mantan anggota Polri mencari perlindungan ke lingkungan eksternal.

Hindarkan pengambilan keputusan yang mendasarkan pada opini masyarakat yang dibentuk oleh media, lembaga HAM, LSM dan pengamat, dengan mengorbankan anggota. Padahal, yang dilakukan oleh anggota sudah sesuai dengan protap/ketentuan yang berlaku.

·         Aspek Legalitas
Optimalkan peran Divbinkum Polri dengan membentuk Pokja-Pokja khusus yang melibatkan personil Polri dari fungsi terkait. Intensifkan perannya untuk memantau perkembangan upaya-upaya pihak tertentu yang berusaha menempatkan Polri tidak langsung di bawah Presiden namun berada di bawah suatu kementerian dengan mengusung berbagai isu dan pertimbangan kelemahan Polri dalam melaksanakan tugas pokoknya melalui proses penyusunan RUU Kementerian di lembaga legislatif.

Intensifkan dan optimalkan upaya untuk mengikuti rencana revisi dan perubahan perundang-undangan yang terkait dan menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas pokok serta kewenangan Polri dengan selalu mengirimkan wakil Polri yang kompeten ke forum-forum ilmiah dalam kaitannya dengan pembahasan RUU tersebut. Dengan demikian wakil Polri tidak hanya sebagai penonton dan sebatas memenuhi syarat “legalitas”.

Intensifkan lobi-lobi, pendekatan dan koordinasi dengan pihak yang terkait (terutama anggota legislatif). Sehingga, pembahasan dan penyusunan RUU itu selalu dapat diikuti perkembangannya.

Optimalkan peran para pakar, LSM dan masyarakat terkait dengan substansi perundang-undangan yang akan direvisi. Intensifkan pertemuan untuk menyampaikan aspirasi Polri sehingga kewenangan Polri yang telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku tidak “dikebiri”, “digerogoti” dan “tumpang tindih”, dan posisi Polri tidak pada posisi yang semakin lemah.

Intensifkan koordinasi dengan instansi penegak hukum terkait lainnya untuk membahas dan menyatukan persepsi atas perbedaan penafsiran hukum dalam penanganan suatu perkara hukum dengan menyesuaikan pada hukum acara yang berlaku untuk menghindarkan pengedepanan “kewenangan dan kekuasaan” suatu instansi penegak hukum yang mengabaikan kebenaran formil dan materiil.

Intensifkan forum Kemenkumham, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK untuk membahas hal-hal yang tidak diatur dalam suatu aturan perundang-undangan agar tidak terjadi perbedaan penafsiran hukum yang dapat berkembang menjadi friksi, konflik bahkan sengketa hukum antar-instansi penegak hukum. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar