ad

Senin, 18 Maret 2013

Mutilasi dan Menyusun (Kembali) Jari-jemari



Tahun 1985, warga Jakarta pernah dikejutkan oleh penemuan mayat potong 13 yang terbungkus dalam dua kardus di Jalan Sudirman. Sampai kini kasus tersebut masih tetap misteri.

Boleh jadi, itulah kasus pertama mutilasi korban pembunuhan yang sempat menyedot perhatian khlayak ramai di Indonesia. Baru akhir 1990-an lalu masuk tahun 2000-an sampai kini, kasus-kasus mutilitasi terus muncul. Bahkan, dalam dua pekan terakhir muncul dua kasus mutilasi di Ciracas (Jakarta Timur) dan Ancol (Jakarta Utara). Mutilasi Ciracas berlatar-belakang cinta segi empat, sedangkan kasus mutilasi Ancol karena utang judi bola.

Kasus mayat terpotong 13 di Jalan Sudirman, Jakarta, tahun 1985 barangkali menginspirasi pada pelaku mutilasi masa kini karena aparat kepolisian kedodoran menelisik siapa korban dan pelaku. Banyak orang mengira bahwa dengan memotong-motong tubuh korban maka jejak kasus akan berhenti. Terlebih bila jejak sidik jari dan raut wajah si mayat dilenyapkan.

Perkiraan banyak orang itu meleset. Teknologi maju mulai dari reka wajah, sidik jari (daktiloskopi), identifikasi DNA, sampai pemindaian tempurung lutut telah mampu melengkapi peralatan identifikasi korban-korban pembunuhan –terutama korban yang dimutilasi. Spesifikasi yang melekat pada tubuh manusia mampu ‘mengungkap’ siapa sosok yang hanya ditemukan potongan kaki atau potongan kepalanya. Pelaku mutiltasi kini harus berpikir ulang bahwa modus ini semakin mudah terendus.   
Tuhan menganugerahi akal pikiran pada umat manusia. Berkat penggunaan akal itulah teknologi –salah satunya teknologi identifikasi manusia—berkembang pesat. Sesuatu yang mustahil beberapa dekade lalu kini menjadi sesuatu yang begitu mudah diselesaikan.

Di Amerika Serikat kini, sidik jari digital, iris mata dan identifikasi suara mulai ditinggalkan. Para ilmuwan setempat mengklaim bahwa mereka telah menemukan jejak biometrik pada tonjolan lutut manusia.

Menurut ilmuwan Amerika Serikat, tempurung lutut tiap orang adalah unik. Maka bagian tubuh ini bisa memberikan cara yang sangat mudah untuk mengidentifikasi seseorang di bandara maupun pos pemeriksaan keamanan lainnya.

Tim mengklaim bahwa tes awal dari sistem keamanan yang mengambil scan MRI tempurung lutut adalah 93 persen akurat. Komputer ilmuwan Lior Shamir dari Universitas Teknologi Lawrence, Southfield, mengatakan bahwa sistem bisa menjadi sempurna untuk cepat mendaftar dan mengidentifikasi orang-orang dalam antrean bergerak manakala mereka mendekati pemeriksaan paspor di bandara atau melalui pintu masuk kantor.

Tim percaya bahwa sistem mereka jauh lebih sulit untuk menipu tanpa operasi besar pada lutut. "Usaha menipu memerlukan prosedur medis invasif dan rumit. Karena itulah, lebih tahan terhadap penipuan dibandingkan metode wajah, sidik jari atau iris mata," kata Shamir. Tim bahkan percaya bahwa hukuman umum di dunia kriminal yang sampai menyebabkan lutut hancur, masih akan mungkin membuat lutut korban tetap unik.

Menurut para peneliti, ada masalah keterbatasan dengan pemindaian MRI. Scanner MRI adalah mesin yang sangat besar dan membutuhkan waktu lama untuk memperoleh gambar bahkan bagian tubuh yang kecil seperti tempurung lutut. Namun, perkembangan MRI akan bergerak dengan cepat. Kemungkinan dalam jangka menengah, peralatan yang lebih portabel dan lebih cepat akan segera diciptakan untuk memenuhi kepentingan keamanan.

Terlepas dari masalah keterbatasan pemindaian MRI, temuan sangat menarik untuk melengkapi peralatan identifikasi manusia. Selama ini kita sudah akrab dengan pemindaian sidik jari ketika membuat e-KTP. Ke depan, bisa saja lebih disempurnakan dengan pemindaian tempurung lutut. Dengan pendataan jejak biometrik tonjolan lutut manusia, kasus-kasus pembunuhan akan semakin cepat terungkap dan calon-calon pelaku tidak seenaknya saja menghabisi nyawa sesamanya.

Teknologi ciptaan manusia semakin berkembang maju mendekati kesempurnaan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al Quran Surah Al Qiyaamah ayat 2-3 bahwa “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang-belulangnya?” Yaitu, pada hari kiamat nanti, apakan manusia mengira bahwa Kami tidak mampu mengumpulkan tulang-belulangnya dari tempat-tempat yang bertebaran. “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.” Yaitu, apakah ada manusia yang mengira bahwa Kami tidak mampu mengumpulkan kembali tulang-belulangnya? Justru Kami akan mengumpulkannya, dan juga mampu untuk menyusun kembali jari-jemarinya. Artinya, mampu untuk memngumpulkan kembali semua itu.

Memang kejahatan pun ikut tambah berkembang. Terlebih manusia kini dapat dikatakan semakin jauh dari kehidupan ruhaniah, manusia semakin hedonis, mengukur segala sesuatunya dengan syahwat duniawi. Mudah-mudahan teknologi yang semakin mendekati kesempurnaan mampu mengerem keberanian dan tekad pelaku kriminal yang sudah di luar batas akal manusia. (Budi Nugroho, kriminolog yang kini bertekun dalam dunia sufi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar