ad

Jumat, 14 September 2012

PAPUA yang SARAT KEPENTINGAN (1)


MERADANG DI TENGAH KELIMPAHAN

Papua is a place of great natural beauty and abundan natural resources.
It has great potensials for tourism and for economic development.

(Cameron R. Hume, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia 2007-2010)


Lingkungan Hidup Wilayah Tanah Papua laksana sebuah Kidung Agung yang memuat syair-syair indah yang melukiskan kemuliaan dan keagungan ciptaan Tuhan di muka bumi. Alamnya yang indah, udaranya yang bersih dan penduduknya yang kebanyakan masih hidup menyatu dengan alam, telah menarik perhatian mereka yang merindukan keseimbangan lingkungan (ecological equilibrium) di abad modern dewasa ini. Lagu Senja di Kaimana ciptaan Surni Warkiman yang dinyanyikan oleh Alfian dan lagu Dari Ombak Besar ciptaan Ds. I.S. Kijne menggambarkan keagungan kidung alam tersebut. Gunung-gunungnya tinggi menjulang ke langit dengan ukuran raksasa dan berpuncak salju abadi merupakan keajaiban alam di kawasan tropis. Pada tahun 1623, Jan Carstensz, sambil berlayar sepanjang pantai selatan Papua, telah merekam sebuah puncak tertutup salju, yang sekarang menjadi daerah pertambangan PT Freeport Indonesia. Rekaman Carstensz diperolok-olok oleh orang-orang di Eropa karena dia berceritera tentang adanya salju di khatulistiwa, yang ketika itu dianggap sebagai sesuatu yang mustahil.

Wilayah Tanah Papua yang akrab dijuluki “Bumi Cenderawasih” berkat adanya burung dari Tanah Surga itu kini didiami kurang lebih 270 sub-etnik yang berbicara dan hidup dalam beraneka ragam bahasa dan kebudayaan. Keanekaragaman hayati Papua juga telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara “Megabiodiversity” di dunia. Artinya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tumbuhan berkayu, serangga, amphibia, reptilia, burung dan mamalia yang ragamnya sangat banyak.

Wilayah Tanah Papua sangat kaya sumberdaya alam dan belum banyak dirambah aktivitas manusia serta sangat menjanjikan peluang untuk dikembangkan, demi kesejahteraan segenap penduduknya. Wilayah pulau terluas di Indonesia ini diselimuti pula oleh belantara hutan dan dikelilingi laut dengan keanekaragaman biota serta berjuta hektar tanah yang cocok buat pertanian. Wilayah Tanah Papua memang laksana “Tanah yang Diberkati” (the blessing land).

Di dalam perut Bumi Papua tersimpan berbagai harta kekayaan alam seperti minyak bumi, gas alam, batubara, uranium, nikel, tembaga, emas dan perak, yang bernilai ekonomi sangat tinggi apabila dikelola secara baik. Penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia di Papua merupakan kekayaan nasional yang memiliki keunggulan komparatif; dapat dilihat dari kandungan Grasberg dengan cadangan tembaga dan emas terbesar dibanding tambang manapun di dunia ini.

Segala keagungan, kebesaran dan kekayaan lingkungan hidup Wilayah Tanah Papua serta penduduknya yang sangat unik di dunia, merupakan kekayaan dan keberkahan yang paling hakiki bagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kekayaan yang harus dilestarikan dan dikembangkan dalam suatu pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sebagai modal dasar pembangunan kepariwisataan yang dapat dikembangkan demi kesejahteraan bangsa yang merdeka dan berdaulat, aman dan damai di tengah-tengah kemajuan peradaban sekarang ini.

Jika menilik sejarah, Papua, negeri burung surga di ujung timur Nusantara ini ternyata sudah menjadi primadona dan dikenal sejak lama oleh bangsa-bangsa Eropa. Bagi para pelaut, Pulau Papua yang dijuluki the blessed land ini sudah tidak asing lagi dan telah dikenal sejak lama. Hal ini dapat ditelusuri dari catatan-catatan kamar dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memberi petunjuk kepada orang-orang Majapahit lewat kapal-kapal penyusur pantai yang telah melakukan hubungan dengan Papua Barat. Buku-buku Cina kuno pun menyatakan hal yang sama mengenai pengalaman orang-orang Cina yang pernah melakukan kontak dengan penduduk pulau tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Eropa pertama yang menghampiri (tidak mendarat) Pulau Papua adalah Bangsa Portugis pada tahun 1512 yang kemudian memasukkan Papua ke dalam peta penjelajahannya. Nama yang patut diingat di antara para pelaut Portugis tersebut adalah Jorge de Menzenes dan Antonio D'Abreu.

Kemudian pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes, seorang pelaut berkebangsaan Spanyol menghampiri pulau ini dengan menyusuri indahnya deburan pantai Papua dengan kapalnya yang terkenal, Sint Juan. Ketika itu dia datang dari Pulau Tidore dalam pelayarannya menuju Meksiko. Orang-orang Spanyol inilah yang kemudian tercatat dalam sejarah berperan memberi nama Nova Guinea (Guinea Baru) kepada Pulau Papua. Penamaan ini diberikan mengingat pantai-pantai di sepanjang Papua memiliki kesamaan dengan pantai yang ada di Guinea, sebuah negara di Afrika Barat yang berbatasan langsung dengan Samudera Atlantik. Semenjak saat itulah banyak pelaut Eropa mulai berdatangan dan berlayar ke Papua sekitar tahun 1600-1700 dengan misi pencarian emas dan kulit pohon Gaharu yang diperlukan untuk bahan dasar wewangian.

Adalah Sir Alfred Russell Wallace, ilmuwan besar yang terkenal dan begitu legendaris dengan penemuan Garis Wallace-nya yang telah mempopulerkan Papua di mata dunia pada abad 19. Wallace (meninggal tanggal 7 November 1913 saat berumur 90 tahun) dikenal sebagai seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli antropologi dan ahli biologi dari Britania Raya. Dia banyak melakukan penelitian lapangan, di mana untuk pertama kalinya dilakukan di Sungai Amazon di tahun 1846 saat dia masih berusia 23 tahun dan dilanjutkan di Kepulauan Nusantara. Selama delapan tahun (1854-1862) dia menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. Dari penjelajahan itu, dia lantas membukukannya ke dalam sebuah catatan yang cukup terkenal yang kemudian diberi judul The Malay Archipelago. Selama melakukan ekspedisi di wilayah Nusantara, diperkirakan, dia telah menempuh jarak tidak kurang dari 22.500 kilometer, melakukan 60-70 kali perjalanan terpisah, dan mengumpulkan 125.660 spesimen fauna yang meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, serta 100 spesimen reptil. Selebihnya, mencapai 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu yang paling disukainya.

The Malay Archipelago karya Wallace berkisah tentang perjalanannya di sepanjang pulau-pulau Nusantara. Selama ekspedisinya itu, Wallace bertemu dengan beragam masyarakat dari Kalimantan, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua serta menulis berbagai langgam kehidupan sosial dan budaya mereka secara lebih rinci.
Di antara sejumlah pembahasan mengenai masyarakat dan keadaan alam Indonesia yang begitu
detail, salah satunya adalah mengenai pengembarannya ke The New Guinea atau yang sekarang kita sebut Papua Barat. Wallace datang ke Teluk Dorey (sekarang Manokwari) dalam usahanya meneliti keberadaan spesies burung surga (paradise birds) atau yang di Indonesia dikenal dengan sebutan burung Cenderawasih. Kisah ini secara lengkap dia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul Sailing To Guinea dan Paradise Birds are Getting Fewer.

Berkat keunikan dan pemuatan fakta-fakta baru seputar kehidupan di Nusantara, Profesor Sangkot Marzuki, Ketua Yayasan Wallace, dalam acara bedah buku Wallace berjudul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam, di Jakarta, Jum`at 16 April 2010, mengatakan bahwa hampir sekitar 1.000 buku edisi pertama The Malay Archipelago yang diterbitkan oleh Macmillan and Company, London, pada tahun 1869 habis dalam beberapa bulan. "Total ada 10 edisi yang diterbitkan selama Wallace hidup. Dan buku itu menjadi buku bersejarah karena satu-satunya buku yang terus dicetak ulang selama 1,5 abad selain kitab suci," tuturnya.

Wallace, setelah puluhan tahun mengembara ke seantero jagad raya, ternyata tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada Tanah Papua yang disinggahinya. Suatu waktu, Wallace pernah menuturkan perasaannya tentang Papua: “Pulau Papua mempunyai lebih banyak obyek alam yang sangat indah dan baru bagi dunia ilmu pengetahuan dibandingkan dengan belahan dunia manapun …” (Hikoyabi, Hana S., Ketua MRP [Majelis Rakyat Papua] pada sambutan Lokakarya: “Land Tenure dan Hutan Papua” di Hotel Sentani Indah, 17-18 Juli 2009).

Selama di Nusantara inilah Wallace berhasil mendapatkan teori yang berperan penting dalam kajian penyebaran flora dan fauna di Asia dan Australia. Hasil penelitiannya di Nusantara inilah yang kemudian menghasilkan teori yang terkenal dengan sebutan Garis Wallace. Sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia; di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia. Garis ini dinamakan atas Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan yang jelas pada saat dia berkunjung ke Hindia Timur pada abad ke-19. Garis ini melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo dan Sulawesi; dan antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Adanya garis ini juga tercatat oleh Antonio Pigafetta tentang perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku, tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada 1521. Garis ini lalu diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia lalu ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna. Garis ini lalu dinamakan "Wallace-Weber".

Selain hamparan laksana taman surga yang begitu indah dengan jutaan potensi, Papua juga memiliki posisi yang sangat strategis dalam episentrum Asia-Australia dan Dunia. Hal ini bisa dibuktikan dengan membaca seputar sejarah Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik, khususnya di Wilayah Tanah Papua. Adalah Douglas MacArthur yang memandang betapa pentingnya posisi strategis Papua ketika itu. Kisah heroik MacArthur dimulai sesudah serangan atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor yang dilakukan oleh Jepang pada tanggal 7 Desember 1941, pasukan Dai Nippon Jepang bergerak dan menguasai hampir seluruh wilayah yang diidamkan sebagai “Persemakmuran Asia Raya”, kecuali Cina Selatan. Setelah menduduki Pulau Jawa, pasukan Jepang diperintahkan untuk memutuskan garis pertahanan dan garis perhubungan antara Amerika Serikat dan Australia di Kepulauan Pasifik Selatan. Pasukan Jepang lantas merajalela menguasai seluruh wilayah Kepulauan Nusantara.

Pada musim semi 1944, Jenderal Douglas MacArthur, panglima tertinggi di wilayah kawasan Asia-Pasifik, memulai penyerangan untuk merebut kembali daerah-daerah yang telah diduduki Jepang. MacArthur mengembangkan strategi “loncat katak” (leapfrog strategy), dengan memanfaatkan kekuatan yang lebih hebat di laut maupun udara, yang selalu meloncat beberapa ratus kilometer lebih jauh menduduki satu pulau ke pulau yang lainnya, di mana di situ juga terdapat (dan dibangun jika belum ada) sebuah landasan pesawat terbang. Dengan cara seperti itu, dia berhasil mengepung garnisun-garnisun Jepang yang besar jumlahnya, kemudian sukses mengisolasi dan mengurung mereka (pasukan Jepang).

Dua puluh hari kemudian, persisnya pada tanggal 27 Mei 1944, dengan strategi “loncat katak” pasukan Sekutu pimpinan Jenderal Douglas MacArthur berhasil melakukan pendaratan di Biak, Papua. Di situ, terjadi pertempuran sangat sengit antara pasukan Sekutu dan pasukan Jepang yang memiliki 11.000 tentara di Pulau Biak. Pertempuran di Biak merupakan salah satu pertempuran yang paling sengit selama perang, di mana tentara Sekutu menggunakan dinamit dan bahan bakar diesel untuk mengusir tentara Jepang dari dalam goa-goa. Hanya 220 orang tentara Jepang yang selamat. Kemudian, pada tanggal 20 Juni 1944 landasan pacu pesawat di Mokmer-Biak jatuh ke tangan pasukan Sekutu. Tanggal 2 Juli 1944, terjadi pendaratan dari udara oleh pasukan Sekutu di Pulau Numfor dan pada tanggal 30 Juli 1944 di Sausapor yang berada di bagian atas wilayah Kepala Burung Papua. Sejarah mencatat bahwa pertempuran di Papua itu akhirnya menjadi tempat di mana Jepang harus mengaku kalah terhadap Amerika setelah melalui berbagai pertempuran hebat lainnya.

Berkat prestasinya itu, MacArthur diusulkan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Jenderal Bintang Lima. Usul kenaikan pangkat ini baru disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada bulan Desember 1944 dan pengukuhannya dilaksanakan di Filipina. Dijuluki ”American Caesar” karena prestasi-prestasi perang yang cemerlang, Jenderal Douglas MacArthur berhasil dengan cepat menundukkan pihak Jepang. Strateginya memanfaatkan Pulau Biak, Papua, dengan taktik loncat katak membuktikan betapa strategisnya posisi dan peran Papua saat itu sebagai gerbang masuk Asia-Pasifik.

Penulis hanya bisa mengucap syukur bagimu Tuhan yang senantiasa memberkati wilayah Tanah Papua, bumi dengan sejuta pesona alam, nilai-budaya dan potensinya. Sudah barang tentu semua itu sesungguhnya adalah diberikan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di seluruh wilayah Tanah Papua, masyarakat yang dikenal memiliki adat-istiadat, sistem sosial dan budaya yang paling unik di dunia itu. Tidak terkecuali, rahmat dan berkah dari Tuhan yang diberikan untuk masyarakat Papua tadi adalah juga demi kemajuan dan kejayaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta ini.

Rasa syukur yang seharusnya diiringi oleh semangat dan kerja keras. Bahwa, anugerah dari Tuhan Yang Maha Pencipta yang tidak ternilai harganya tadi sudah semestinya dikembangkan dalam wujud yang nyata. Dikembangkan agar mempunyai nilai tambah (added value) bagi masyarakat di wilayah Tanah Papua maupun bagi Bangsa dan NKRI. Bukan apa-apa, Tuhan sendiri tidak akan mengubah nasib seseorang atau masyarakat, apabila seseorang atau masyarakat tersebut tidak mau mengubah nasibnya. Mengubah nasib itu sendiri, antara lain, dilakukan dengan bekerja keras untuk mengolah dan mengembangkan Sumber Daya Alam (SDA) yang diberikan Tuhan Yang Maha Kasih. Dengan diolah dan dikembangkan, tentunya, pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang begitu besar tadi akan benar-benar bermanfaat dan bernilai tambah, sehingga masa depan masyarakat di seluruh wilayah Tanah Papua serta Bangsa dan NKRI menjadi lebih baik, cerah dan berpengharapan.

Sebuah negeri yang diberkati Tuhan. The blessing Islands. Itulah Papua, yang telah diberkati dengan segenap potensi SDA (Sumber Daya Alam) yang sungguh berlimpah-ruah. Melimpah-ruah di darat, melimpah-ruah pula di air. Ada rempah-rempah, serta kekayaan flora dan faunanya yang menghiasi seantero daratan Papua, bumi burung surga itu. Sedangkan potensi beraneka jenis barang tambang menjadi “bongkahan emas” di hampir semua tanah Papua, provinsi yang juga disebut mutiara hitam ini.

Sungguh, wilayah Tanah Papua, tanah yang diberkati oleh Tuhan (the blessed land) itu, laksana mutiara di timur Indonesia. Lingkungan alam pulau terluas di persada Nusantara tersebut, bak kidung agung sebuah orkestra kehidupan alam yang melantunkan syair-syair dan bait-bait yang merdu dan meneduhkan hati, serta gerakan harmonis saling bertautan tentang keindahan, kebesaran dan kemuliaan ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Begitu mempesona dan sungguh kaya Wilayah Tanah Papua. Maka dari itu, dapat dimaklumi, apabila orang sekelas Cameron R. Hume, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia 2007-2010, pun begitu mengagumi keindahan dan potensi alam yang terhampar di Wilayah Tanah Papua. Kata Cameron R. Hume, “Papua is a place of great natural beauty and abundan natural resources. It has great potensials for tourism and for economic development.”

Cameron R. Hume memang benar. Setiap jengkal wilayah Tanah Papua sungguh memiliki nilai kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan ekologis yang tinggi. Di dalam perut Bumi Cenderawasih (sang burung dari surga itu) misalkan, terkandung beraneka potensi tambang yang begitu melimpah-ruah. Mulai dari minyak dan gas bumi (migas), batubara, nikel, tembaga, perak, emas hingga uranium yang diburu oleh dunia untuk energi nuklir. Potensi tambang di wilayah Tanah Papua memang layaknya jamrud di timur Indonesia. Sedangkan di permukaan tanah, terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa dengan salju abadinya. Bagai putri salju yang sedang tertidur lelap. Juga, sungai-sungai yang mengalir berkelok-kelok dengan sejuta potensi air tawarnya. Bak ular naga emas yang sedang melata. Tidak terkecuali, hutan-hutan rimbun-lebat dengan aneka tanaman dan tumbuhan serta flora dan fauna. Ibarat taman nirwana nan penuh mempesona.

Tidak hanya keindahan alam dan posisinya yang amat strategis, lebih dari itu Papua juga dikenal dunia karena kelimpahan kekayaan alamnya yang bernilai ekonomis tinggi. Artinya, Papua sesungguhnya memiliki modal pembangunan berupa Sumber Daya Alam (SDA, economic capital) yang sangat besar. Baik di darat maupun di laut. Mulai dari pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanian, kelautan-perikanan hingga pariwisata. Papua pun sebenarnya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM, human capital) yang cukup potensial untuk memberdayakan dan mengolah SDA menjadi bernilai tambah tinggi. Papua juga memiliki kekayaan nilai-nilai sosial-budaya sebagai wujud khazanah dan kearifan masyarakat setempat atau peradaban (social-cultural capital) yang unik dan luhur yang terkristal dari perjalanan panjang Papua, yang sejatinya dapat dijadikan sebagai pijakan dalam pembangunan Papua.

Papua pun dikitari oleh laut dan samudera luas dengan berjuta-juta sumber daya ikan dan udang, serta karang dan kehidupan biota (flora dan fauna laut). Layaknya ratna mutu manikam. Panorama pesona alam dan potensi yang begitu melimpah-ruah itu semakin aduhai dan kian menawan dengan keberadaan dan eksistensi adat-istiadat, sistem sosial dan budaya dari beragam etnik atau suku beserta nilai-nilai sosial-budaya serta peradabannya yang luhur dan adi luhung. Tidak percaya, segeralah datang ke pulau “mutiara hitam”. Pasti Anda akan dibuat takjub dan tidak akan mengedipkan mata barang sejenak pun. Don’t forget, seeing is believing. Papua is a wonderful island.”

Walau demikian, ada yang patut disayangkan, ternyata Papua menyimpan sebuah ironi. Provinsi yang boleh dikata paling kaya ini sekaligus menyandang predikat provinsi termiskin. Papua berkelimpahan sumber daya alam. Freeport, tambang emas dan tembaga terbesar di dunia ada di sini. Papua juga memiliki kilang LNG Tangguh, lapangan gas terbesar di dunia. Kekayaan hutan berikut biodiversitas dan plasma nutfahnya luar biasa. Namun mayoritas rakyatnya masih bergelut dengan kemiskinan akut.

Memang, dalam konstelasi sejarah pembangunan daerah dan nasional, potensi-potensi tersebut kurang diberdayakan (kalau tidak boleh disebut masih terabaikan). Akibatnya, perjalanan pembangunan di wilayah Tanah Papua menjadi tidak integratif dan tidak menuai hasil yang berarti, selain masing-masing pelaku pembangunan (pemerintah, investor dan masyarakat) tampak berjalan sendiri-sendiri sesuai kepentingannya. Apa boleh buat, sejarah panjang Papua hanya diwarnai dengan keterbelakangan dan kemiskinan masyarakatnya. Dalam era global sekarang ini, rakyat-masyarakat Papua justru tersisih dan terpinggirkan. Kualitas SDM Papua tetap seperti pungguk yang merindukan bulan. SDA Papua terus terkuras dan harmoni lingkungan alam di ujung kerusakan yang serius. Rakyat-masyarakat Papua pun hidup dalam khazanah dan kearifan lokal yang semakin pudar dimakan modernisasi jaman. Bagi rakyat-masyarakat Papua, wilayah Tanah Papua seakan menjadi tanah yang gersang yang tidak lagi diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kasih.

Terlihat bahwa selama kebijakan otonomi khusus dijalankan belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Papua secara signifikan. Padahal, pemberlakuan kebijakan otonomi khusus ini mendapatkan dana khusus yang jumlahnya semakin meningkat sejak 2002 sampai 2010. Dalam perkembangannya, pemberian dana otonomi khusus, di luar ketiga dana perimbangan, belum menunjukkan dampak positif terhadap penanggulangan kemiskinan di Papua.

Sungguh memprihatinkan. Setelah sekian lama arus investasi dan modal mengalir di Papua, ternyata kehadiran itu tidak berbanding lurus dengan pesatnya peningkatan kesejahteraan warganya, terutama masyarakat asli Papua. Yang lebih menyedihkan, sebagian dari mereka justru tersingkir dan cuma menjadi penonton, bahkan korban.Jika menilik Kajian Ekonomi Regional Triwulan II Tahun 2009 yang dilakukan Bank Indonesia di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, kinerja ekonomi makro dan mikro di kedua wilayah tersebut dinilai cenderung membaik. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua mencapai angka mendekati 4 persen dan Provinsi Papua Barat mendekati 6 persen.

Salah satu penopang kinerja makroekonomi itu adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah yang cenderung meningkat. Hal itu memang terbukti, misalnya jalan dan jembatan banyak dibangun di wilayah pedalaman, puskesmas baru banyak didirikan di distrik-distrik, demikian pula gedung-gedung sekolah. Di perkotaan, ruko banyak dibangun meski belum semua penuh terisi. Geliat sektor jasa pun turut berderak dengan didirikannya banyak hotel baru. Semua itu menunjukkan aktivitas belanja infrastruktur yang gencar di kedua provinsi tersebut.

Selain itu, kinerja industri pertambangan—khususnya di Papua—menyumbang hingga lebih 60 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua yang mencapai Rp18,94 triliun (data Badan Pusat Statistik Papua, 2009). Untuk Provinsi Papua Barat diperkirakan pada masa mendatang laju pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat seiring dimulainya pengapalan gas alam cair dari lapangan Tangguh di Bintuni. Juli tahun 2008 sebanyak 136.000 meter kubik gas alam cair telah dikirim ke Korea Selatan dan itu menandai cikal bakal lahirnya industri strategis di wilayah Indonesia bagian timur. Kehadirannya diharapkan mampu memberikan efek domino bagi kinerja perekonomian di wilayah tersebut. Tahun 2010, dua provinsi itu akan mengelola total lebih dari Rp31 triliun dana yang berasal dari APBN.

Capaian itu tentu tidak mengherankan. Apalagi di Papua, PT Freeport Indonesia memang memberikan kontribusi ekonomi luar biasa besar. Juru bicara PT Freeport Indonesia, Mindo Pangaribuan, mengatakan, nilai investasi perusahaan tambang itu mencapai lebih 6 miliar dollar AS. Tercatat, kontribusi ekonomi tahun 2008 mencapai angka 1,2 miliar dollar AS, yang terdiri dari pembayaran pajak, royalti, dan dividen. Total sejak penandatanganan kontrak karya kedua pada tahun 1992, kontribusi ekonomi perusahaan tersebut kepada Pemerintah Indonesia mencapai lebih dari 8 miliar dollar AS. Jumlah itu belum termasuk manfaat langsung yang dinikmati lebih dari 12.000 karyawan lokal di Timika atau mencapai 20.000 karyawan jika ditambah dengan karyawan dari perusahaan subkontrak yang bekerja di PT Freeport Indonesia. Di Provinsi Papua Barat, kehadiran British Petroleum di Tangguh dengan nilai investasi mencapai 5 miliar dollar AS dan menyerap 10.000 tenaga kerja juga dinilai akan mampu menggerakkan efek domino terhadap kinerja ekonomi setempat.

Namun, di tengah membaiknya kinerja ekonomi itu dan derasnya arus investasi di Papua dan Papua Barat, data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua tahun 2009 menunjukkan, hingga Maret 2009 tercatat jumlah penduduk Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai lebih dari 760.000 atau setara dengan 37,53 persen total jumlah penduduk Papua.

Jumlah itu meningkat lebih dari 27.000 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2008 yang mencapai lebih 733.000 orang. Meskipun dalam empat tahun terakhir data Survei Sosial Ekonomi Sosial menunjukkan penurunan, persentase penduduk miskin di Papua masih dalam kisaran 30 hingga 40 persen. Tidak hanya itu, dari parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Papua pun berada di urutan ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia. Arus investasi, modal, dan pembangunan di Papua belum sepenuhnya mengangkat taraf hidup masyarakat Papua. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka justru makin jatuh miskin karena kehilangan aset penopang hidup, yaitu hutan.

Laporan BPS Maret 2010 bahkan menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Papua sebesar 761.620 jiwa (36,80%), sedangkan di Papua Barat pada periode yang sama sebesar 256.250 jiwa (34,88%). Total penduduk miskin di kedua provinsi tersebut pada bulan Maret 2010 sebesar 1.017.870 jiwa. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2002 ketika awal kebijakan otonomi khusus dijalankan yang berjumlah 984.000 jiwa (41,80%), berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 33.870 jiwa. Tingkat kemiskinan Papua juga jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 13,33%.

Di sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit yang menerapkan sistem inti dan plasma, umumnya masyarakat asli Papua berhadapan dengan gegar budaya, terutama dalam pola bercocok tanam. Mereka yang sebelumnya hidup dalam pola meramu tiba-tiba dihadapkan pada pola bercocok tanam baru dengan orientasi industri. Di beberapa wilayah perkebunan, seperti di Kabupaten Keerom, Klamono, dan Kabupaten Sorong, masyarakat asli perlahan-lahan tersisih dan kehilangan lahan garapan. Hal itu tak hanya melahirkan kesenjangan ekonomi dengan kelompok pendatang, tetapi juga marjinalisasi. Apalagi jika perkebunan itu dibuka tanpa plasma.

Hutan-hutan ulayat terus dibabat dan masyarakat asli kian terasing dari tanah mereka sendiri. Pokok-pokok sagu diganti dengan tunas-tunas kelapa sawit dan masyarakat menjadi buruh di tanah mereka sendiri. Dengan rencana pemerintah pusat menjadikan Papua sebagai lahan terakhir sumber lumbung pangan Indonesia dan dunia, kepekaan terhadap masalah sosial yang mungkin timbul harus lebih tinggi. Bukan hanya dilihat sebagai lahan yang subur dan kaya, bumi Papua harus diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh antara alam dan masyarakatnya. Sebelum muncul ekses lebih jauh dan mumpung masyarakat Papua masih membuka ruang dialog, kepentingan masyarakat asli harus masuk dalam prioritas pembangunan.

Pemerintah hendaknya jangan menutup telinga dari ”teriakan” sebagian rakyat Papua yang minta keadilan. Dalam pandangan sebagian orang Papua, kondisi sekarang sangat keterlaluan. Perusahaan asing dengan mudahnya mengeruk emas bernilai miliaran dollar AS. Mereka beroperasi di bawah jaminan keamanan penuh dari aparat. Sementara pada saat orang Papua sendiri mengais sisa-sisa pertambangan tersebut malah dicegah dan dilarang, bahkan ditembaki aparat keamanan.

Perlakuan ini sungguh amat menyakitkan hati dan merendahkan martabat bangsa. Bagaimana bisa pemerintah dan aparat negara bertindak seperti serigala bagi rakyatnya sendiri dan menghamba bagaikan budak kepada perusahaan asing? Bukankah alasan rasional bergabungnya manusia atau kelompok manusia ke dalam suatu negara adalah untuk memelihara hak hidup dan kehidupan mereka? Bagaimana bisa pemerintah menempatkan diri berhadapan dengan rakyatnya dalam rangka melindungi bisnis kapitalis asing.

Keuntungan pemerintah pun amat kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diraup oleh PT Freeport-McMoRan misalnya. Dilihat dari jumlah saham saja sudah tidak signifikan. Pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham, bandingkan dengan saham yang dimiliki PT Freeport-McMoRan sebesar 81,28 persen. Itu pun pemerintah harus menjadi tameng PT Freeport-McMoRan. Di sisi lain, rakyat Papua tidak memiliki saham sama sekali. Mereka hanya diberi belas kasihan sebesar 1 persen dari keuntungan. Bayangkan, rakyat lokal yang secara turun-temurun mendiami daerah itu sekarang hanya menjadi pengemis yang hidup dari belas kasihan yang diberikan orang asing, yang menjadi kaya dan meraksasa dari hasil tambang daerah itu sendiri. Adalah wajar jika pada akhirnya muncul kecemburuan dan amarah.

Untuk meredakan kecemburuan dan kemarahan rakyat Papua, pemerintah perlu menunjukkan kepedulian yang tulus terhadap kesengsaraan mereka sekarang seraya mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu, tidak cukup hanya dengan pemberian 1 persen keuntungan bagi rakyat lokal. Pemerintah perlu mengusahakan agar rakyat daerah tersebut turut memiliki saham, misalnya, 10 persen. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah memiliki otoritas penuh terhadap seluruh wilayah Republik, termasuk wilayah pertambangan di Papua. Meskipun sudah terikat kontrak, bukan berarti pemerintah kehilangan kedaulatan di wilayah tersebut. Dengan memiliki saham, rakyat tidak perlu menjadi pengemis di tanahnya sendiri. Mereka akan berada di posisi yang setara dengan PT Freeport McMoRan dan pemerintah. Teknisnya, tentu saja tidak seluruh rakyat duduk dalam kepemilikan, melainkan lembaga-lembaga tertentu representasi rakyat Papua, misalnya lembaga-lembaga adat, MRP, DPRD, dan pemerintah daerah.

Penulis jadi teringat sebuah cerita di salah satu surat kabar nasional tentang seorang mama (ibu) asal Papua, dengan tas tradisional di pundak, berjalan-jalan mengelilingi Kota Jakarta. Ia terkagum-kagum memandang deretan gedung pencakar langit yang megah. Pemandangan yang begitu asing dari habitat Papua itu menggumpalkan amarah yang membara dalam dirinya. Saking tak tertahankan lagi, ibu itu berteriak lantang, "Pemerintah Indonesia telah memindahkan gunung-gunung dan bukit-bukit dari Papua ke Jakarta. Kini rakyat Papua hanya mengais sisa-sisa limbah dan tinja yang ditinggalkan setelah gunung, bukit, hutan, dan sungai dihancurkan."

Kisah ini menggambarkan bukti nyata kegelisahan anak manusia yang tidak tahan menyaksikan sebuah kesenjangan yang menganga di antara segelintir orang yang kebetulan memiliki kuasa dan uang untuk berperan dalam pembangunan dengan misi membangun kesejahteraan, tapi fakta menggambarkan bahwa rakyat sebagai pemilik sah tanah ini begitu asing dari proyek nasional yang bernama pembangunan itu. Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta dalam sosok pemikiran seorang ibu sederhana asal Papua menggambarkan tragedi kesenjangan itu, sementara rakyat di Papua khususnya dan timur Indonesia umumnya masih tertatih dalam genangan lumpur kemiskinan, kemelaratan, dan ketertinggalan.

Sebuah realita-fakta yang sejatinya tidak perlu terjadi. Sebuah kenyataan yang hanya merugikan semua pihak. Tidak ada yang diuntungkan. Sebab itu, langkah solusi dengan cara “duduk bersama” dan “bergandeng tangan bersama” harus segera ditumbuhkan dan dikembangkan. Masyarakat Papua harus dilibatkan dalam perencanaan, proses, implementasi dan pengawasan, serta penikmatan atas hasil-hasil pembangunan. Pembangunan daerah juga harus menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup (keadilan ekologi), menjadikan hak-hak rakyat-masyarakat, serta menjadikan nilai-nilai sosial-budaya dan khazanah-kearifan masyarakat setempat sebagai landasannya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar