ad

Jumat, 27 Maret 2015

Margarito: Aneh, Penerbitan Perintah Audit PPA

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai, penerbitan surat perintah Nomor PRINT-012/A/JA/03/2015 untuk mengaudit Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung terbilang aneh dan terkesan dipaksakan, karena sesuai aturan, audit dilakukan 2 tahun sekali.

"Belum lupa dari ingatan saya, ketika Jaksa Agung ‘melabrak’ Peraturan Jaksa Agung (Perja) dengan Keputusan Jaksa Agung (Kepja). Sekarang melakukan audit  yang seharusnya baru dilakukan dua tahun sekali. Ini aneh," kata Margarito, di Jakarta, Kamis (26/3).

Terlebih, lanjut Margarito, penerbitan surat tersebut tidak mempunyai dasar hukum, karena PPA didirikan berdasarkan Perja. Selain itu, PPA merupakan upaya mencegah jaksa nakal yang ingin memanfaatkan alat bukti perkara maupun aset yang disita dari hasil tindak pidana.

"PPA ini kan transparan dalam kinerjanya. Justru saat ini seperti dilumpuhkan, harusnya ditingkatkan performanya. Patut diduga ketakutan oknum jaksa akan kehadiran PPA sudah memuncak, hingga memaksakan untuk mengerdilkan PPA," katanya.

Peneliti dari Indonesia Justice Watch, Fajar Trio Winarko menambahkan, karena PPA di bawah bidang Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin), maka harusnya audit lebih dulu dilakukan terhadap Jambin itu sendiri. "Kalau pun ada kecurangan atau kekeliruan, maka Jambin lah yang harus dimintai pertanggungjawaban terlebih dahulu," katanya.

Selain itu, jika pun tetap memaksa melakukan audit, maka harusnya jaksa agung membentuk tim ad hoc, bukan menunjuk Jambin sebagai ketua tim audit agar menghilangkan stigma "masa jeruk makan jeruk".

"Saya kira ego sektorial masih mewarnai di internal Kejaksaan. Nafsu mengejar jabatan dan bermain-main aset, serta barang bukti sangat besar. Jaksa gung sekarang harusnya lebih baik dari sebelumnya," kata Fajar. (http://www.gatra.com/)

Rabu, 18 Maret 2015

Jaksa Nakal Berkeliaran, Komjak Nilai Jaksa Agung Prasetyo Gagal


Ketua Komisi Kejaksaan RI Halius Hosen
Ketua Komisi Kejaksaan RI Halius Hosen
Ada oknum jaksa fungsional berinisial W yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) diduga menerima gratifikasi untuk merenovasi bangunan rumah yang total nilainya sebesar Rp.270 juta.

Jaksa Agung H.M Prasetyo nampaknya gagal untuk menindak oknum jaksa 'nakal', meski remunerasi dan tunjangan para jaksa se-Indonesia dinaikkan. Sebab itu Komisi Kejaksaan RI (KKRI) berharap Prasetyo mampu membenahi Kejaksaan demi mengembalikan marwah kejaksaan untuk lebih bersih.

Menurut Ketua KKRI Halius Hosen, dari pantauan KKRI, ada oknum jaksa fungsional berinisial W yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) diduga menerima gratifikasi untuk merenovasi bangunan rumah yang total nilainya sebesar Rp.270 juta.

"Ada laporan pengaduan, bahwa ada oknum jaksa fugsional berinisial W, menerima gratifikasi untuk renovasi rumah, kalau ditotal uangnya sekitar Rp270 juta," ujar Alius dalam keterangannya di Jakarta, Senin (2/3).

Dijelaskan dia, pemberian itu dari Warga Negara Taiwan Wi Ji Peng dengan nama pribuminya Rudi Salim. Rudi merupakan pihak berperkara dalam tindak pidana yang ditangani Kejati Jatim. KKRI pun telah menginvestigasi perkara dugaan suap itu dari laporan dari saksi mata.

"Benar kami sudah lakukan investigasi dan yang bersangkutan (Oknum Jaksa W) mengakui perbuatannya," ungkapnya.

Dijelaskan Halius, oknum jaksa W pun sudah mengakui mendapatkan hadiah dari Rudi Salim, namun dirinya membantah jika hal itu sebagai bentuk pemerasan.

"Bukti-bukti menunjukkan W bersalah. Dari bukti kwitansi, keterangan dari si pemberi maupun yang mengerjakan renovasi rumah tersebut," jelasnya.

Halius mengungkapkan, ihwal pemberian hadiah itu berawal bahwa W telah membantu meloloskan naturalisasi Rudi Salim yang sebelumnya pernah tersangkut kasus tindak pidana dan dipenjara selama satu tahun.

"Dalam UU sudah jelas jika ada warganegara asing yang terkena tindak pidana, seharusnya tidak lolos naturalisasinya," ucapnya.

Tak hanya di Kejati Jatim, Halius pun mengungkap di wilayah hukum Kejati Sumatera Barat juga ada oknum jaksa berinisial B yang menjabat sebagai Kasi Pidsus pada Kejaksaan Negeri Pulau Punjong diduga menerima gratifikasi uang sebesar Rp55 juta.

"Meski itu nilainya kecil, namun itu sudah melanggar. Kami punya bukti transfernya. Dan diakui oleh Kasi Pidsus berinisial B," ujarnya.

Dengan, adanya dugaan gratifikasi yang diterima oknum jaksa, Halius menilai bahwa reformasi birokrasi dan remunerasi tidak memberikan pengaruh positif di korps Adhyaksa tersebut.

"Padahal kami sering memberikan rekomendasi ke kejaksaan. Tentu pengawasan melekat saat ini sudah tidak kuat. Jaksa Tinggi pun sudah seperti macan ompong," terangnya.

Sebab itu dia, mendesak kepada Jaksa Agung untuk memberikan tindakan tegas berupa hukuman pidana bagi kedua oknum jaksa nakal tersebut.

"Jangan hanya memberikan sanksi UU kepegawaian saja. Tapi juga diberikan sanksi pidana yang tercantum dalam UU gratifikasi. Ini hal yang tidak boleh dibiarkan. Ini contoh kecil, saya pikir masih banyak kasus lainnya," tandas dia. (http://jaringnews.com/)

Kamis, 12 Maret 2015

Remunerasi Kejaksaan Tak Jamin Jaksa Nakal Hilang



Indonesia Corruption Watch menilai remunerasi di instansi Kejaksaan Agung tidak lantas menghilangkan oknum jaksa nakal. Bahkan menurut peneliti hukum ICW Donal Fariz, remunerasi tidak efektif untuk mencegah korupsi di instansi tersebut.
"Remunerasi bukan solusi terhadap jaksa nakal. Seharusnya Kejaksaan Agung berbenah diri dan memaksimalkan pengawasan ke jaksanya," kata Donal saat dihubungi wartawan, Ahad (13/2).

Sebab, korupsi di tubuh Kejasaan Agung tidak hanya ditimbulkan oleh upah jaksa yang tidak besar. Melainkan karena rendahnya integritas para jaksa." Problemnya bukan karena gaji tapi pada moralitas dan mentalitas buruk para oknum. Karenanya perlu pengawasan ketat," ujar dia.

Di tempat berbeda, Wakil Koordinator ICW Emerson Junto menyatakan tingkat renumerasi itu bisa jadi disalahgunakan sebagai batasan para penegak hukum dalam menerima suap. Misalkan, kata dia, dengan renumerasi jaksa menerima gaji Rp 10 juta.

"Saat menerima suap angka itu jadi patokan titik terendah terima duit. Masak terima suap kurang dari gaji," kata Emerson.

Jumat 11 Februari kemarin KPK membekuk jaksa intelijen Kejaksaan Negeri Tangerang, Dwi Seno Wijanarko yang diduga memeras pegawai Bank Rakyat Indonesia cabang Ciputat, Tangerang. Dari penangkapan itu, penyidik menyita barang bukti berupa duit senilai Rp 50 juta. Atas dugaan pemerasan itu, penyidik menjerat Dwi sebagai tersangka menggunakan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (www.tempo.co)

Sabtu, 07 Maret 2015

SwissLeaks, Bongkar Kejahatan Perbankan Yang Dilakukan HSBC

HSBC-bank-in-the-City-of--007
HSCBC, Bank (dlf)
 Dokumen-dokumen rahasia yang disiarkan online yang menuduh cabang Swiss bank raksasa HSBC telah membantu para nasabah kaya dalam menghindari pajak, telah mengguncang dunia dan mengungkap hubungan sistem keuangan dengan kalangan kaum ulta kaya dunia, hingga kemudian menimbulkan skandal bernama SwissLeaks.
Beberapa nama itu termasuk para politisi dan mantan politisi Rusia, India, berbagai negara Afrika, Arab Saudi, Bahrain, Yordania dan keluarga kerajaan Maroko, selain mendiang juragan media asal Australia Kerry Packer.
Menyusul skandal ini, ada seruan di Swiss untuk menggelar penyelidikan terhadap bank HSBC, yang juga sedang menghadapi tuduhan serupa di Prancis dan Belgia.
Hakim Belgia malah tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan surat penangkapan direktur divisi Swiss dari HSBC, sedangkan di Inggris skandal ini membuat politisi saling menyalahkan.
Sementara itu saham HSBC ditutup turun 1,64 persen menjadi 610,60 sen pada perdagangan saham di London.
Sejauh ini Swiss baru menggelar penyelidikan terhadap karyawan HSBC yang membocorkan data bank ini dan sekaligus menjadi whistleblower, Herve Falciani. Dia dituduh mencuri rangkaian data yang disebut sebagai jantung dari skandal ini.
Senin kemarin, mantan karyawan HSBC ini menyeru perlindungan lebih rapat lagi untuk para whistleblower.
“Jika Anda ingin imunitas penyeimbang, maka Anda harus menyediakan sarana untuk itu, kata Falciani kepada televisi Swiss RTS. “Saya harapa mereka akan punya cukup energi setelah menyelidiki saya selama enam tahun terakhir guna menginvestigasi bank itu (HSBC).”
File-file yang dibocorkan itu dimanfaatkan oleh pemerintah Prancis untuk memburu para pengemplang pajak dan disebarluaskan ke negara-negara lainnya pada 2010 sehingga memicu serangkaian penyelidikan.
Otoritas pajak Inggris menyebutkan bahwa mereka menaksir sekitar 135 juta poundsterling nilai pajak yang digelapkan berdasarkan file-file yang dibocorkan tersebut.
Sejak itu cabang Swiss HSBC menegaskan telah melakukan transformasi yang radikal. “Swiss Private Bank milik HSBC telah memulai transformasi radikal pada 2008 untuk mencegah layanannnya dimanfaatkan untuk menghindari pajak atau mencuci uang,” kata Franco Morra, kepala unit HSBC Swiss, kepada AFP lewat email.
Dia menyatakan banknya telah menutup rekenening para nasabah yang tidak memenuhi standard mereka dan menerapkan pengawasan yang ketat.
Asosiasi Perbankan Swiss menyatakan sistem perbankan negara itu telah berusaha keras untuk bersih-bersih pada tahun-tahun belakangan ini.
(Afp/ant)