ad

Jumat, 02 Agustus 2013

Akpol, PTIK dan Soliditas TNI-Polri

(Tanggapan atas Executive Progress Report Pembahasan Akpol Output Sarjana, tanggal 18 Januari 2013)

Oleh Awaloedin Djamin
Mantan Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, mantan Dekan PTIK, Dosen KIK Universitas Indonesia dan PTIK

Pendahuluan

Setelah membaca Executive Progress Report Pembahasan Akpol Output Sarjana, termasuk kompilasi pendapat Pejabat Dikti, Kementerian P & K dan Praktisi Pendidikan, tanggal 18 Januari 2013, kiranya perlu diingat mengapa pembahasan tersebut timbul? Untuk itu, perlu diperhatikan sejarah perkembangan Akpol dan PTIK dari 17 Juni 1946 (Akpol), 1950 (PTIK) sampai pisahnya Polri dan ABRI pada tahun 1999.

Secara resmi Polri merupakan bagian dari ABRI sejak keluarnya UU Nomor 13 Tahun 1961 dan kenyataan integrasi ABRI mulai berlaku tahun 1967 dengan dibentuknya Departemen Pertahanan dan Keamanan dan jabatan Panglima ABRI.

Walaupun Polri pisah dari ABRI tahun 1999, Presiden SBY, Panglima TNI dan Kapolri, juga Pepabri (TNI-Polri) secara aktif mempertahankan dan melanjutkan soliditas TNI-Polri.

Presiden SBY, antara lain, menyelenggarakan pelantikan tamatan Akademi TNI dan Akpol secara bersama di Akpol. Semarang, setelah Polri pisah dari TNI. Juga penutupan Rapim TNI dan Rapim Polri digabungkan.

Pepabri (Purnawirawan TNI dan Polri) mempertegas semboyannya: Sekali Prajurit tetap Prajurit; Sekali Bhayangkara tetap Bhayangkara; Sekali Pejuang tetap Pejuang.

Di era ABRI (waktu Polri menjadi bagian ABRI), Menhankam/Pangab dan Presiden Suharto menegaskan bahwa walaupun tugas TNI dan Polri berbeda namun semangat kejuangan dan militansinya sama sejak masa revolusi fisik.

Selama lebih 40 tahun, bila ditanya perwira TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polri, mereka berasal dari angkatan berapa, semuanya menjawab tahun angkatan Akabri, bukan Sesko, Sespim, Lemhanas ataupun PTIK.

Contohnya, SBY mengadakan reuni dengan angkatannya, yang sama dengan mantan Kapolri Sutanto dan Menko Polhukam. Pangli TNI sekarang satu angkatan dengan Kapolri.

Tanda pangkat keempat angkatan (kecuali Polri mengubah tanda pangkat Pamen pada masa Kapolri Bimantoro).

Dengan demikian, melalui Akabri, rasa solidaritas, semangat kejuangan dan militansi terus berkembang dan menghilangkan rivalitas angkatan, mempermudah kerjasama di lapangan. Hal ini berlangsung sampai sekarang, tanpa pengaruh keberadaan PTIK, Sesko, Sespim dan Lemhanas.

Karena dalam perkembangannya, penggalangan soliditas TNI-AD, TNI-Al, TNI-AU dan Polri, Akabri (sekarang Akademi TNI dan Akpol) sangat penting peranannya,maka untuk soliditas TNI dan Polri di masa datang perlu diserasikan pendidikan Akademi TNI dan Akpol, agar tradisi pelantikan bersama oleh Presiden, Lasitarda dan latihan dasar gabungan selama tiga bulan di Magelang hendaknya terus dilanjutkan. Dengan begitu rasa satu angkatan terus tertanam.

Akademi TNI ingin dikembangkan menjadi Diploma-4, bahkan Strata-1, maka demi soliditas TNI dan Polri, Polri berusaha menyerasikan pendidikan Akpol dengan TNI, kendati Polri telah memiliki program sarjana di PTIK sejak tahun 1950.


Sejarah Singkat PTIK dan Akpol

Sebagaimana diuraikan di atas, pendidikan kesarjanaan PTIK telah lahir sejak tahun 1950 dengan menghasilkan doktorandus (Drs) Ilmu Kepolisian.

Pada masa revolusi fisik, tanggal 17 Juni 1946, guru besar ternama Indonesia waktu itu, seperti Prof. Djokosutono, Prof. Soepomo, dan lain-lain, bersama dengan Kepala Kepolisian Negara RI yang pertama R.S. Soekanto berpendapat bahwa dalam alam Indonesia Merdeka diperlukan perwira kepolisian yang berpengetahuan dan kemampuan akademis. Maka didirikanlah Polisi Akademi (kemudian berganti menjadi Akademi Polisi) sampai dua angkatan. Angkatan pertama adalah angkatan Pak Hoegeng dan Angkatan kedua adalah angkatan Pak Suyud bin Wahyu dan Pak Suparno. Mereka tidak sampai selesai, karena ikut dalam perang kemerdekaan.

Pada tahun 1950, para guru besar Akademi Polisi dan Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto meningkatkan Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Ini pertama kali “Ilmu Kepolisian” diperkenalkan di Indonesia.

Angkatan I dan II Akpol dijadikan Angkatan I dan II PTIK dan yang pertama diterima di Jakarta dijadikan Angkatan III (angkatan Awaloedin Djamin dan Widodo Budidarmo).

Sistem pendidikan tinggi waktu itu mengikuti sistem pendidikan tinggi Belanda (Kontinental Eropa), yaitu dengan pembagian Kandidat I (C I), Kandidat II (C II), Doctoral I (D I) dan Doctoral II (D II). Dalam sistem kontinental tidak ada Magister atau Master, program S-2 sekarang. Sistem Bachelor (BA), Master (MA) dan Doctor (DR dan PhD) adalah sistem Anglo Saxon yang sekarang dianut Indonesia.

Gelar doctorandus (Drs) yang diberikan kepada tamatan PTIK dapat langsung ke program doctor dengan pembimbing seorang guru besar atau lebih dengan membuat disertasi. Sayangnya, dalam sistem itu tidak ada doctoradus PTIK yang melanjutkan ke program doktor.

Sistem Kontinental ini berjalan sampai beberapa angkatan dengan kuliah sebagian besar digabung dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mata pelajaran kepolisian seperti Kriminalistik, Dactiloscopi, Toxikologi, dan Sejarah Kepolisian diberikan di Kampus PTK, dengan guru besar dan dosen seperti Prof. Gunsburg dan Dr. Ceullenaar yang didatangkan dari Belgia dan dosen-dosen Belanda di Indonesia lainnya.

Angkatan II, yang mulai masuk 1950, diwisuda tahun 1955. Pada angkatan-angkatan berikutnya, wanita ikut menjadi mahasiswa PTIK.

Jadi, program dengan jalur sarjana (sekarang S-1) telah berjalan di Polri sejak tahun 1950. Sudah berjalan selama 63 tahun. Dalam perkembangannya dan masuknya pengaruh Anglo Saxon ke Indonesia, PTIK pernah memecah programnya dengan Sarjana Muda (SMIK) dan setelah merupakan bagian dari ABRI dibentuk Akabri bagian Kepolisian (kemudian Akpol) dengan program D-3.

Tahun 1980, dengan SK Bersama Menteri P & K dan Kapolri, ditetapkan Universitas Indonesia (UI) sebagai Universitas Pembina Akademik PTIK dan Dekan PTIK diambilkan dari dosen UI. Dekan pertama setelah SK Bersama tersebut adalah Prof. DR. Harsya Bachtiar yang dulantik oleh Menteri Daud Joesoef dan Dekan kedua adalah Prof. DR. Awaloedin Djamin (guru besar FISIP UI) yang dilantik oleh Mendikbud Fuad Hasan.

Selama puluhan tahun, Polri merupakan bagian dari ABRI, tamatan Akpol (yang D-3 menurut UU Pendidikan Nasional) setelah bertugas di lapangan paling kurang dua tahun, dengan ujian dapat melanjutkan ke PTIK untuk S-1. SKS Akpol diperhitungkan untuk melanjutkan ke PTIK dengan persetujuan Departemen P & K. Karena itu Mendikbud menetapkan Universitas Diponegoro (Undip) sebagai Universitas Pembina Akademik Akpol.

Kemudian karena banyaknya kecurangan dalam ujian masuk PTIK, Kapolri Da’i Bachtiar menghapus ujian masuk PTIK dan semua tamatan Akpol dapat masuk PTIK. Karena jumlah tamatan Akpol yang belum/tidak masuk PTIK cukup besar, lalu diadakan pendidikan jarak jauh dan masa kuliah diperpendek. SKS Akpol tetap diperhitungkan untuk dilanjutkan di PTIK.

Agar tidak dianggap Ilmu Kepolisian adalah monopoli PTIK, maka atas usaha Polri diadakan kerjasama dengan UI untuk mengadakan pendidikan ilmu kepolisian. Kerjasama Polri dan UI ini bahkan menyepakati agar UI mengadakan program pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian yang telah merngasilkan lebih dari 400 S-2 dan 10 S-3. Program ini berjalan sejak tahun 1996.

Jadi, bagi Polri, program S-1, S-2 dan S-3 telah berjalan tanpa banyak masalah. Sekarang PTIK pun mengadakan program pascasarjana.


Akpol dalam rangka Soliditas TNI dan Polri

Seperti dimaklumi, UU Pendidikan Nasional membangi “perguruan tinggi” (huruf kecil) dalam (1) Akademi, (2) Politeknik, (3) Sekolah Tinggi, (4) Institut dan (5) Universitas.

Karena PTIK belum cukup untuk menjadi Insitut, yang memerlukan fakultas-fakultas sejenis, maka PTIK memilih bentuk Sekolah Tinggi dengan sebutan tetap Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Departemen P & K tidak keberatan dengan sebutan PTIK. Bahkan Departemen P & K memperbolehkan sebutan Dekan untuk pimpinan PTIK. Dengan demikian, mengubah sebutan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) dalam Inpres Organisasi Polri sebenarnya tidak perlu, apalagi nama PTIK telah dikenal masyarakat lebih dari 60 tahun.

Tahun 1979, Mabes ABRI hampir membubarkan PTIK dengan alasan pendidikan Sarjana tidak ada dalam sistem pendidikan ABRI. Memang TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU maupun gabungan ABRI, tidak ada pendidikan kedinasan yang memberi gelar sarjana. Sebab itulah timbul gagasan untuk Akademi TNI (AD, AL dan AU) mulanya untuk meningkatkan D-3 menjadi D-4 yang setingkat dengan S-1. Bahkan, akhirnya berkembang gagasan menjadikan Akademi TKI menghasilkan S-1, dengan gelar Sarjana Science terapan bidang pertahanan. Menurut UU Diknas, akademi adalah untuk pendidikan profesi dengan sebutan D-1, D-2, D-3 dan D-4. Sedangkan Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas untuk pendidikan akademis dengan gelar S-1, S-2 dan S-3.

Sebagaimana diuraikan di atas, bagi Polri sebenarnya pendidikan kedinasan dengan memberi gelar sarjana sudah ada sejak tahun 1950. Dalam era Polri merupakan bagian dari ABRI pun telah diatur hubungan Akpol dan PTIK, yaitu:
·         Selain merupakan lembaga pendidikan untuk kemampuan sbhara tingkat perwira, Akpol juga memberikan pengetahuan dan kemampuan supervisory police management dengan pola Kapolsek. SKS Akpol diperhitungkan untuk kelanjutan di PTIK guna mencapai gelar S-1. Sebagai perguruan tinggi kedinasan yang output-nya diarahkan kepada kebutuhan dinas Polri, maka PTIK memberikan pengetahuan dan kemampuan middle police management dengan pola Kapolres.
Karena Polri menganut sistem komando kewilayahan (Polda, Polres dan Polsek), maka selama bertahun-tahun PTIK memiliki satu jurusan, yaitu Administrasi Kepolisian. Ilmu Kepolisian adalah multidisiplin dan Adminisitrasi Kepolisian sebagai salah satu cabang Ilmu Kepolisian adalah interdisiplin.
·         Karena Ilmu Kepolisian bukan monopoli Polri dan PTIK, maka sejak tahun 1996 Polri bekerjasama dengan UI membuka program pascasarjana Ilmu Kepilisian, yang seakarang dikenal dengan KIK-UI yang telah menghasilkan lebih dari 400 orang bergelar S-2 dan 10 orang bergelar S-3. KIK-UI dewasaini memiliki tiga kekhususan, yaitu (1) Administrasi Kepolisian, (2) Hukum Kepolisian, dan (3) Manajemen Sekuriti.

Jadi jelas bagi Polri tidak ada masalah mengenai pendidikan kesarjanaan, baik S-1, S-2 maupun S-3. Yang dianggap menjadi permasalahan adalah:
·         Demi melanjutkan dan meningkatkan soliditas TNI dan Polri, lembaga utamanya memang Akabri (sekarang AAD, AAL, AAU dan Akpol), Polri mesti mempelajari setiap perkembangan Akademi TNI agar sama-sama dalam pelantika, Lasitarda dan latihan dasar di Magelang.
·         Bila Akademi TNI akan meningkat menjadi D-4, maka Akpol juga harus menjadi program D-4, misalkan dengan mendalami fungsi teknis profesional khas kepolisian dan/atau Manajemen SDM Polri (yang memang sangat penting dan mendesak).
·         Karena Akademi TNI akan mulai dengan program S-1 terapan, maka Akpol telah pula mulai dengan menyelenggarakan program S-1 PTIK di Kampus Akpol Semarang.

Sekali lagi perlu diingat TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU tidak pernah menyelenggarakan pendidikan tinggi kedinasan dengan gelar sarjana. Sebab itu, gagasan Akademi TNI untuk gelar sarjana jangan sampai merusak sistem pendidikan tinggi Polri yang telah berjalan puluhan tahun dengan persetujuan Departemen P & K.

Demi soliditas TNI-Polri, agar semangat kejuangan, militansi dan kerukunan dalam pelaksanaan tugas sekarang dan masa depan, dalam gabungan pelantikan perwira muda, Lasitarda dan pelatihan dasar tiga bulan di Akademi TNI Magelang, Polri menyesuaikan program pendidikan tinggi di Akpol dengan rencana Akademi TNI.

Tidak boleh dilupakan bahwa pendidikan kedinasan pada umumnya dan pendidikan kedinasan Polri pada khususnya adalah untuk mengisi kebutuhan pelaksanaan tugas pokok, tugas-tugas dan fungsi Polri yang luas dan kompleks, dan gelar kesarjaan bukan tidak ada kaitannya dengan kebutuhan dinas. Jadi, sejak semula pendidikan tinggi Polri di PTIK dan Akpol adalah menganut ilmu terapan (applied science, seperti Administrasi Kepolisian).


Penutup

Secara struktural Polri telah berpisah dari ABRI sejak tahun 1999 dan dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan kembali bahwa Polri adalah Kepolisian Nasional (national police) yang berada langsung di bawah Presiden serta rumusan tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang yang jelas.

Namun, soliditas TNI dan Polri perlu dilanjutkan dan diperkuat demi mempertahankan empat pilar, yaitu (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4) Bhineka Tunggal Ika. Sebagai kekuatan utama di bidang pertahanan dan keamanan negara, semangat kejuangan dan militansi TNI dan Polri perlu diatur sebaik-baiknya. Untuk itu peran pendidikan di Akademi TNI dan Akpol telah dan akan tetap menentukan.

Membina soliditas TNI dan Polri bukan hanya menjadi tanggung jawab Polri, tapi juga TNI. Presiden sebagaimana yang diperlihatkan Presiden SBY serta semua lembaga negara dan pimpinan masyarakat.

Soliditas tidak boleh merusak tugas-tugas TNI dan Polri yang memang berbeda. Waktu integrasi ABRI kuat sekali, di mana Polri merupakan bagian dari ABRI. Pada tahun 1978 Menhankam/Pangab menegaskan:
“... setiap anggota Polri harus dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan sempurna. Untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan yang cukup baik. Namun dalam hal ini kita harus berhati-hati, meskipun Polri adalah juga bagian dari ABRI, hakekat, fungsi dan tugas-tugasnya berbeda. Sifat ancaman-ancaman  maupun subyek yang melakukan menuntut agar prajurit TNI mahir dalam menggunakan kekerasan senjata.
Selanjutnya, sufat ancaman dan subyek yang dihadapi Polri menuntut agar setiap anggota Polri mahir dalam bidang hukum dan tunduk terhadapnya. Oleh karena itu, pendidikan dan latihan Polri tidak boleh sepenuhnya dilaksanakan seperti dalam TNI.
Militansi yang dituntut dari setiap anggota Polri memang menuntut adanya pendidikan dan latihan yang mirip dengan kemiliteran, namun janganlah hendaknya ini melahirkan sikap mendorong dilaksanakannya hanya tindakan-tindakan kemiliteran.
Hendaknya sebagai pedoman diperhatikan bahwa yang dihadapi kepolisian belum dapat dikategorikan ke dalam sebutan demikian. Yang dihadapi Polri adalah warga negara dan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan hak-hak asasi manusia.”

Ini antaralain perintah harian Menhankam/Pangab saat serah terima Kapolri tahun 1978 waktu Polri masih menjadi bagian dari ABRI.

Sebagaimana diuraikan di atas, Polri menyatakan “Ilmu Kepolisian” telah ada sejak tahun 1950. Secara umum, ilmu kepolisian adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah sosial (social problems) dan penangannya untuk mencapai keteraturan sosial (social order).

Dalam buku pertama mengenal ilmu kepolisian yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru (1994), Prof. Harsya Bachtiar menguraikan ilmu kepolisian yang bersifat multidisiplin, yang luas sekali, baik yang diberikan dalam pendidikan gelar sarjana maupun non-gelar, antara lain PTIK, Akpol dan lembaga-lembaga pendidikan Polri yang lain, seperti Pusdik-Pusdik dan Sespim.

KIK-UI menyelenggarakan tiga kekhususan utama, yaitu (1) Administrasi Kepolisian, (2) Hukum Kepolisian dan (3) Manajemen Sekuriti dan pernah pula menyelenggarakan kekhususan Pemasyarakatan dan merencanakan kekhususan Kedokteran Kepolisian dan Manajemen Sumber Daya Manusia Kepolisian.

Karena itu, bagaimana pun penyerasian Akpol dan Akademi TNI, apakah D-4 atau S-1, demi soliditas TNI dan Polri hendaknya jangan terlalu menyimpang dari yang telah ada. Ilmu Kepolisian sudah diajarkan selama lebih dari 60 tahun di Indonesia dan dikenal secara universal.

Dengan demikian maka:
·         Bila Akademi TNI tidak berubah menghasilkan D-4 maka Akpol dan PTIK tidak perlu diubah (tentu perlu terus disempurnakan).
·         Bila Akademi TNI meningkatkan D-3 menjadi D-4, maka Akpol dapat melaksanakan program D-4 dengan menambah pengetahuan dan kemampuan di bidang operasional tertentu., seperti sabhara, reserse dan Polantas, dan bidang pembinaan tertentu (di antaranya Manajemen SDM Polri).
·         Jika Akademi TNI akan menghasilkan output sarjana (dengan tambahan ‘terapan’) dan bila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyetujuinya (karena semula Akademi tidak boleh menghasilkan sarjana), maka Polri harus mengkaji untuk menjadikan Akademi Kepolisian sebagai “Sekolah Tinggi” yang akan ‘merombak’ kurikulum yang ada. Sebab, selama ini tamatan Akpol yang masuk PTIK butuh waktu dua tahun atau sekurang-kurangnya 1,5 tahun untuk S-1. Berkaitan dengan hal ini, bagaimana nasib PTIK yang telah berumur lebih dari 60 tahun itu?
·         Kemungkinan lain adalah Akademi TNI dan Akpol tetap seperti sebelumnya. Untuk kesarjanaan, TNI membentuk “Sekolah Tinggi Ilmu Pertahanan” dengan menghitung SKS dari AAD, AAL dan AAU guna diteruskan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertahanan. Jadi sama dengan hubungan Akpol dan PTIK selama puluhan tahun dengan persetujuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Semua itu perlu dikaji dari segala segi, demi kemajuan Polri dan soliditas TNI-Polri di masa depan. ***


Kamis, 01 Agustus 2013

Polisi dan Kontrol Emosi

Sebuah dialog singkat mewarnai suatu peristiwa razia sepeda motor di satu sudut Jakarta yang panas terik. Ketika, seorang pengendara motor tergeragap tiba-tiba distop polisi. Dia merasa segala sesuatu menyangkut tertib berkendara motor di jalan raya telah dipenuhinya. Apa kesalahan saya Pak, baru kali ini saya dihentikan polisi, ucap si pengendara.
Sang polisi, sembari terus memelototi motor demi motor yang lewat, dengan nada datar berujar, Lampu bapak tidak dinyalakan, sosialisasi sudah lama dilakukan.
Sebaiknya tegur dulu Pak, jangan langsung ditilang begini, pinta si pengendara.
Kalau mau debat di pengadilan nanti, saya puasa hari ini, Pak, ujar polisi yang melakukan razia di hari Kamis itu. Si pengendara langsung pasrah dan menerima sepucuk surat tilang dengan sedikit ngegrundel.
***
Percakapan pendek yang tampaknya biasa-biasa saja. Sang polisi merasa sudah saatnya menegakkan peraturan sepeda motor harus menyalakan lampu di siang hari. Tak perlu ada lagi kata teguran, aturan harus dipaksakan tegak sampai warga terbiasa patuh. Tapi, di mata si pengendara motor, sang polisi bersikap kurang bersahabat dan hanya tebang pilih karena banyak pengendara lain yang tidak menyalakan lampu namun terus melenggang kencang. Si pengendara merasa kecewa karena upayanya mengkritisi penegakan hukum penyalaan lampu sepeda motor di siang hari dimentahkan begitu saja dengan berlindung di balik pengadilan dan puasa sunnah hari Kamis. Terselip sikap arogan pada diri polisi, mau menang sendiri, dan kurang elegan memberi argumentasi. Pendek kata, emosi sang polisi demikian gampang mengembang. Lantas, bagaimana saat polisi menghadapi peristiwa yang lebih besar dan lebih tragis lagi. Boleh jadi emosinya akan meruap-ruap. Padahal, dalam keseharian, polisi acapkali menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengundang emosi dan kadang sampai menguras air mata.
Sebagai profesional yang dilatih untuk melayani dan melindungi warga masyarakat, polisi diharapkan mampu memelihara kesadaran emosi yang seimbang, bahkan dalam keadaan yang paling tragis nan pahit sekalipun. Wewenang dan efektivitas polisi dalam menangani perkara atau kejadian yang kerap begitu tragis akan dipertaruhkan bilamana polisi tidak dapat menguasai emosi. Dalam menghadapi tragedi kemanusiaan (sekadar contoh korban pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan mobil dan pelecehan anak), polisi harus mampu menjaga ketenangan mereka, menjauhkan diri dari reaksi emosional yang berlebihan (Pogrebin and Pole, 1988). Secara umum, polisi meyakini bahwa publik berharap polisi senantiasa bersikap tenang dan tidak takut serta mampu menangani situasi kritis secara obyektif. Standar yang menempatkan polisi di atas warga masyarakat umum dalam mengelola emosi sering terasa berat dan tak kenal kompromi.
Stratton (1984) mencatat bahwa sejak awal karir sebagai penegak hukum, dalam bekerja, polisi terbiasa menekan emosi mereka demi menjaga citra profesional di mata masyarakat dan rekan petugas lainnya. Polisi bahkan beranggapan bahwa seberapa terampil mengontrol emosi mereka dapat menjadi titik lemah atau bahaya bagi pekerjaan dan berpotensi menghambat kemampuan melakukan tugas secara efektif. Jadi, jelas, polisi kerapkali harus menyembunyikan emosi normal mereka sebagaimana dirasakan oleh kebanyakan orang dalam menghadapi sebuah tragedi yang pada galibnya menguras air mata. Dalam upaya menahan emosi terpendam mereka, sampai-sampai, polisi terkadang mengembangkan manajemen yang kurang tepat dalam rasa-perasaan sesama polisi.
Akibatnya, menurut Stratton lebih lanjut, sikap penguasaan diri yang kurang tepat ini  acap berdampak negatif terhadap hubungan sosial-kemasyarakatan seorang polisi di luar pekerjaannya. Seiring berjalannya waktu, segala pemunculan emosi yang kurang tepat akan mengakibatkan perasaan terus tertekan dalam diri seorang polisi. Sementara itu proses menyembunyikan perasaan seseorang ketika reaksi emosional memuncak merupakan sesuatu yang alami (dan diharapkan apa adanya), akan menjadi problematik tersendiri dalam mengelola hubungan antarpribadi. Bahkan, di antara anggota polisi yang pernah mengalami kejadian tragis dalam kehidupan pribadinya, diharapkan pula, emosi tetap terjaga.
Ketika polisi melawan gejolak emosi dalam situasi tragis, mereka semakin sadar atas label negatif yang barangkali akan mereka peroleh jika mereka tidak mampu menguasai perasaan pribadinya. Polisi akan dianggap telah terpengaruh secara emosional, bila mereka memperlihatkan ekspresi tertentu (kemarahan atau simpati) pada korban. Publik akan menaruh syakwasangka dan meragukan kemampuan polisi untuk bertahan terhadap tekanan kerja. Pada sisi yang lain, polisi berharap publik tidak meragukan dirinya untuk dapat bertindak tegas dalam situasi apapun, karena keselamatan publik kemungkinan besar bergantung pada polisi. Kendali emosi yang seimbang pada diri polisi menjadi hal penting agar mereka dapat diterima sebagai polisi yang sesungguhnya. Sebagaimana dicatat Hochschild (1979), individu dapat mempengaruhi pandangan petugas lain terhadap mereka dengan memanipulasi ekspresi emosi. Polisi sering berusaha mengelola tampilan emosi mereka dengan mengadopsi sikap memisahkan atau menjauhkan diri dari lingkungannya. Banyak polisi enggan mengungkapkan emosi diri karena mereka beranggapan hal itu sebagai perilaku yang kurang berkarakter (Maslach and Jackson, 1979). Keengganan ini barangkali dihubungkan (sebagian) dengan sosialisasi dalam kultur polisi yang menganut etika ketangguhan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa polisi menghadapi situasi yang tidak mudah untuk sekadar menjaga keseimbangan kesadaran dan emosi. Institusi polisi harus lebih bijak dalam memberikan penyaluran emosi para anggotanya yang sehari-hari dihadapkan pada situasi yang semakin kriminogenik. Agar, warga masyarakat merasa tetap terayomi dan terlindungi dalam pelayanan penuh keramahan dan santun. (BN)