ad

Senin, 29 Juli 2013

Ironi Kehidupan Religi dan Prostitusi di Pasar Tanah Abang


Tumpah ruah pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Kebon Jati, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (17/7/2013). Jika selama ini PKL mengeluhkan tidak ada akses menuju Blok G, sehingga enggan direlokasi, dari gambar terlihat keberadaan mereka lah yang justru menghambat akses, utamanya bagi pejalan kaki. | ESTU SURYOWATI


Tanah Abang bukan sekadar pasar, ia adalah kehidupan. Tanah Abang memiliki denyut dan nafas yang berbeda dari kebanyakan pasar di ibukota. Ironi hadir ketika kehidupan religi tercermin di sana, tetapi dunia esek-esek pun diam-diam terus menggeliat dibekingi para oknum.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, Jumat (19/7/2013), puluhan pedagang, karyawan PD Pasar Jaya, warga sekitar, dan semua umat Muslim laki-laki tumpah ruah memadati masjid di lantai 4 Blok G, Tanah Abang. Mereka menjalankan kewajiban sebagai umat Muslim, mendirikan sholat Jumat.

Kondisi serupa terlihat pada hari biasanya. Masjid yang terletak di samping kantor PD Pasar Jaya itu tak pernah sepi. Saat Dzuhur, dan Ashar, puluhan pedagang kembali menghentikan aktivitasnya sejenak, untuk sujud menghadap Allah. Tak jauh beda dari masjid-masjid yang ada di perkantoran.

Pada bulan Ramadhan, utamanya setelah Dzuhur, banyak yang beristirahat barang satu-dua jam. Beberapa orang terdengar mendengkur.

Jumat siang itu, terlihat hanya satu orang yang membaca Al Quran. Jika tak ingin terlalu jauh naik ke Lt.4, para pedagang sembahyang di mushala yang terletak di Lt.1 Blok G, Tanah Abang.

Musholla ini terletak bersebelahan dengan kamar mandi/WC. Meski kecil, tempat ini pun selalu ramai dikunjungi umat Muslim yang hendak beribadah. Musholla ini beralaskan papan berukuran 2,5 x 1,2 meter. Satu papan terletak di depan toilet wanita, dan satu lagi terdapat di depan toilet pria.

"Kalau hari-hari biasa, ada lah 50 orang yang ke sini. Ganti-gantian begitu," ujar Wahyu (43), penjaga toilet dan musholla, kepada Kompas.com, Kamis (18/7/2013).


ESTU SURYOWATI Musholla portable depan toilet Lt.1, Blok G, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (18/7/2013). Terlihat seorang pria keluar dari toilet hendak melaksanakan sholat Dzuhur.

Bermutasi


Tanah Abang yang terlihat religius bukanlah fenomena Ramadhan sesaat. Warga yang juga pedagang asli Tanah Abang, Ali Jawaz (50), mengatakan, sekitar 40 tahun silam Tanah Abang terkenal agamis, banyak ustaz tinggal di kawasan ini.

Seiring perkembanganan jaman, terlebih lagi lanjut Ali, pasca dibangunnya jalan layang non-tol, geliat kehidupan religi Tanah Abang pudar. Salah satu indikatornya, yakni mulai menjamurnya penjaja seks komersial (PSK) di sana. Kondisi ini semakin liar, setelah Blok G direnovasi pada 2004. Sejak saat itu, blok ini terkenal sebagai blok mati. Baik pedagang maupun pembeli enggan menyambangi.

Hal senada disampaikan pedagang lain, Abdul Muis (61). Pria asal Pekalongan ini mengatakan tak hanya PSK yang membuat risih. Keberadaan preman dan pencopet pun membuat pembeli dan pelanggan enggan.

Sekitar tiga tahun silam, blok G masih sangat ramai, namun banyak pembeli menjadi korban jambret dan copet. Praktis, pembeli tak mau belanja di blok G. Razia Satpol PP terhadap PSK jelang Ramadhan sekitar dua pekan lalu, menyisakan pekerjaan rumah PD Pasar Jaya. Para PSK berlarian naik ke atas blok G, berlindung di balik preman-preman yang mendiami kios-kios pedagang yang kosong.

"Saya agak marah juga (soal itu), jadi mereka (penjaja seks komersial) begitu diserbu di luar, mereka naik ke sini. Begitu saya ke sini, pedagang komplain, balai-balainya dimasuki," ujar Kepala PD Pasar Jaya Area Pusat 1 Pasar Tanah Abang Blok G, Warimin.

"Itulah mangkanya, yang lebih parah saya yang jadi beban. Saya ketua masjid di blok G. Di bawah mesjid buat PSK-PSK. Hadits-nya juga ada kan, apa tuh, kalau kita dagang atau rumah 40 meter dari tempat maksiat kena sialnya," kata Ali ditemui secara terpisah.

Kendali preman

Blok G Tanah Abang bukan tak memiliki petugas keamanan. Meski demikian, Warimin mengakui personilnya masih minim. Keamanan Blok G dikelola oleh swasta secara outsourcing (alih daya). Tiga orang berjaga selama 24 jam, bergantian dengan tiga orang di hari berikutnya, dan demikian seterusnya.

Sementara itu, Ali heran dengan urusan keamanan di Blok G Tanah Abang. Bukan soal jumlah personilnya yang sedikit, melainkan siapa yang mengurusi. Ia pun dilematis karena mengenal betul preman-preman yang dipekerjakan sebagai tenaga alih daya keamanan.

"(Sekarang) yang ngurus orang-orang yang enggak bertanggung jawab, jadi bukan karyawan PD," lanjut Ali.

Jalan cerita penataan Tanah Abang oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, bakal menjadi episode panjang. Ali pun berujar Pemprov memiliki banyak PR jika ingin membereskan kawasan niaga ini, terutama terkait preman. Pasalnya, mereka berada di belakang kedigdayaan para PKL. Para oknum pun melindungi PSK yang membuat pembeli dan pedagang tak betah.

"Emang dipikir mereka (PSK) nggak setor? Ada yang narik itu. Tanah Abang ini sudah di bawah titik nadir. Soalnya semua berkepentingan. Semua makan duit dari PKL, dari jablai," tutur Ali.

"Biar mereka (Pemprov) melek. Saya pingin biar Tanah Abang ditata bener. Udah maksiatnya, premannya juga. (Tanah Abang) Udah kaya benang kusut," ungkapnya lagi.(megapolitan.kompas.com)

Jumat, 26 Juli 2013

Penelitian Kriminal



ILMU pengetahuan, dalam proses perkembangannya, tidak pernah terlepas dari aktivitas penelitian. Cukup mustahil kiranya ilmu pengetahuan dapat berkembang tanpa adanya kegiatan penelitian dengan segenap bentuk da metodologinya. Melalui penelitian akan mampu ditemukan atau dibangun teori baru dan pengguguran teori lama, serta hal-hal baru lainnya. tanpa adanya pembaruan dan penemuan baru, ilmu pengetahuan akan mengalami kemandekan. Pernyataan-pernyataan tersebut tidak hanya berlaku bagi disiplin ilmu yang tergolong eksak namun juga non-eksak, bahkan ilmu-ilmu humaniora.
Perkembangan suatu disiplin ilmu sangat dipengaruhi oleh hakekat apa yang dijaki, cara mendapatkan pengetahuan yang benar dan nilai kegunaan ilmu yang bersangkutan. Ketiga faktor tersebut dapat menjadi penghambat dan juga pendorong perkembangan ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Bagi disiplin ilmu eksakta atau disiplin yang cenderung ke arah penerapan praktis, faktor-faktor tersebut dapat secara jelas diidentifikasi dan dicarikan jalan keluarnya bilamana menjadi penghambat.
Sedangkan bagi disiplin non-eksakta dan humaniora atau disiplin ilmu murni lainnya dirasakan sangat sulit mengidentifikasi ketiga faktor tersebut. Sehingga, dalam perkembangannya dapat dikatakan sangat jauh tertinggal dibandingkan kemajuan bidang pengetahuan eksakta (hal ini terlihat menyolok di negara berkembang seperti Indonesia).
***
KRIMINOLOGI, disiplin ilmu yang memiliki bidang kajian kejahatan dan permasalahannya, sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan non-eksakta sampai sekarang masih bergelut dengan hakekat bidang kajian itu sendiri. Terutama dalam masyarakat kita, disiplin tersebut sangat jauh tertinggal lantaran masih saja bergelut dengan relativitas konsepsi kejahatan (kriminal) dalam menghadapi kemajemukan masyarakat. Dan, selanjutnya, menghambat proses pencarian pengetahuan yang benar serta kegunaan yang diharapkan nyaris tidak terpenuhi.
Sebagaimana kita lihat dalam publikasi hasil-hasil penelitian –baik lewat terbitan berkala maupun kalangan terbatas—masih relatif minim kajian permasalahan kejahatan sebagai obyek penelitian. Kalau toh muncul hasil penelitian kejahatan masih tetap berkisar pada kejahatan konvensional dan kejahatan tradisional yang lain. Misalkan kajian perspektif kriminologi terhadap peristiwa bencana alam, penyalahgunaan wewenang para pengelola perusahaan swasta, kejahatan akademik pada kasus plagiat skripsi.
Masalah-masalah tersebut belum banyak dijamah para kriminolog atau praktisi yang berkompeten pada masalah kriminal dalam arti seluas-luasnya. Banyak di antara mereka keasyikan dengan pembahasan kejahatan kekerasan, korupsi yang selalu melibatkan pegawai negeri sipil, atau kenakalan anak yang diteropong dari konsepsi Barat. Mengapa bisa demikian, penelitian kriminal masyarakat ita masih jauh tertinggal dari kemajuan bidang lain. Rupanya banyak kendala yang dihadapi dalam upaya mengejar ketertinggalan perkembangan penelitian dengan obyek studi kriminal.
***
SAMPAI sekarang hakekat dasar kejahatan masih terlampau didominasi dan mengacu pada rumusan-rumusan hukum positif. Dengan demikian, dalam penelitian masalah kriminal timbul kesulitan yang meliputi adanya masalah sanksi/hukuman dari hukum pidana yang ada, banyak data berada di tangan petugas (polisi, jaksa, pengadilan dan instansi sejenis lainnya) yang tidak mudah ditembus serta ketergantungan penelitian kriminal terhadap hukum pidana.
Akses sanksi dari hukum pidana menyebabkan bahan penelitian tertutup bagi orang yang ingin meneliti masalah kriminal. Adanya sanksi mengakibatkan orang atau tepatnya responden merasa takut memberikan fakta sebenarnya atas masalah yang hendak diteliti. Mungkinkah seorang responden sudi menjawab pertanyaan seputar kejahatan yang pernah dilakukan? Menghadapi hal ini, peneltiti mesti berhati-hati dalam mempergunakan metode yang tepat buat mencari data yang valid.
Begitu banyaknya data berada di tangan aparat penegak hukum-keadilan yang sering diklasifikasikan rahasia atau terbatas dengan alasan untuk melindungi hak-hak orang yang terlibat dalam perkara itu dan perlu tindak lanjut dari segi keamanan, sulitlah kita untuk memperoleh data yang bersangkutan. Andaikata berhasil mendapatkan data haruslah melewati beberapa pintu birokrasi yang amat ketat dan tidak jarang dijadikan ajang kecurigaan. Di sinilah peneliti mesti pandai-pandai berdalih agar data yang diperlukan dapat sampai ke tangan.
Kemudian ketergantungan penelitian kriminal pada hukum pidana membawa efek kekaburan permasalahan yang akan diteliti. Masalah kriminal yang erat kaitannya dengan tafsiran hukum pidana menjadi sangat luas tergantung siapa yang menafsirkan. Dengan demikian akan lebih banyak ditentukan oleh aparat penegak hukum-keadilan yang berhubungan dengan politik dan kebijakan kriminal yang diterapkan.
Acapkali permasalahan yang dirumuskan peneliti tidak sejalan dengan politik dan kebijakan kriminal yang ada, akibatnya rancangan penelitian yang dibuat tidak sinkron dengan data lapangan yang tersedia. Ketidak-sinkronan antara rancangan dan data lapangan yang ada memang merupakan masalah yang biasa muncul dalam penelitian sosial namun kalau terlalu jauh melenceng jelas akan menghasilkan pengetahuan yang jauh dari kebenaran dan sulit dipertanggung-jawabkan.
***
KENDALA penelitian kriminal selanjutnya adalah bias atau prasangka yang ada pada diri peneliti. Haris disadari bahwa masalah kriminal yang diteliti merupakan masalah yang dianggap “tidak baik” oleh sebagian besar warga masyarakat. ada suatu akibat “tidak baik”, kecenderungan sementara yang hidup sebagian besar warga masyarakat –baik peneliti maupunawam—akan mencari sebab dari hal yang “tidak baik” tersebut. Akankah demikian selamanya? Sangat riskan bila ada seorang ahli berasumsi bahwa penyalah-gunaan wewenang (korupsi) disebabkan semakin meningkatnya kesejahteraan rakyat. Asumsi yang ada cenderung melihat bahwa korupsi sebagai akibat adanya gejala kerusakan mental yang mendera sejumlah oknum pejabat.
Biasanya prasangkapeneliti dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Pandangan hidup ini terkadang, bahkan sering, membawa seorang peneliti kriminal cenderung bertindak sebagai “pembaharu sosial atau kepenjaraan”, bukan sebagai penelitian yang berada di luar obyek. Sehingga, apa yang disimpulkan pun cenderung bersifat praktis ibarat obat yang diberikan seorang dokter buat penyembuhan seorang pasien. Padahal, selama manusia masih bermasyarakat maka selama itu pula kejahatan akan senantiasa ada.
Disadari bahwa penyelesaian masalah kejahatan menyangkut aspek keberadaan manusia secara menyeluruh. Hal ini mengakibatkan para peneliti sulit mengambil keputusan atau kesimpulan sesuai dengan prosedur yang harus dilakukan, karena dapat merampas hak orang lain sebagai warga masyarakat. Mau tidak mau penelitian kriminal berurusan dengan pikiran dan gagasan yang bersifat humanitary seperti pembentukan sistem hukum yang cocok untuk masyarakat tertentu, atau pembentukan sistem kepenjaraan yang manusiawi.  
***
SEBAGAIMANA kita ketahui dalam perkembangan dunia penelitian masyarakat kita masih menghadapi permasalahan kekurangan dana dan tenaga peneliti ahli. Banyak penelitian masyarakat –terutama penelitian sosial—bernaung di bawah panji lembaga pendidikan. Sedangkan dana penelitian dari lembaga pendidikan sangat terbatas jumlahnya sehingga jarang yang sudi terjun ke dunia penelitian. Akibatnya terjadi kekurangan tenaga peneliti dan waktu penelitian relatif sempit.
Upaya pemecahan masalah ini dilakukan melalui jalinan kerjasama dengan sponsor, baik swasta maupun pemerintah. Tapi langkah ini dapat mengundang bahaya bagi penelitian kriminal, lantaran desakan sponsor terhadap masalah yang harus diteliti maka peneliti sulit berdiri netral atau membuat kesimpulan yang andal dan mampu mendorong orang lain untuk lebih mengembangkan daya-pikirnya. Tidak sedikit permasalahan yang diajukan para sponsor merupakan permasalahan yang sebenarnya kurang memberi kontribusi bagi perkembangan suatu disiplin ilmu, diadakan semata-mata buat pengisi kekosongan penelitian. Dan praktis diisplin ilmu yang bersangkutan mengalami kemandekan.
Bahaya lain dari kerjasama dengan sponsor adalah ketidak-sanggupan penelitian kriminal memisahkan diri dari keinginannya sebagai “pembaharu sosial atau kepenjaraan’. Ketidak-sanggupan ini akan mengakibatkan munculnya kecenderungan peneliti memberikan kesimpulan praktis dan generalisasi yang berlebihan.  Kendati tidak bisa diingkari bahwa penelitian kriminal harus berhadapan dengan masalah pengurangan angka kriminal dan penyempurnaan pembinaan terpidana dan bekas terpindana dalam masyarakat luas. Harus ke mana sebenarnya arah penelitian kriminal. Demi kemajuan disiplin ilmu ataukah melayani kepentingan sponsir?
Saat ini kejahatan dan kriminal telah berkembang sangat modern seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pemecahan permasalahan kriminal tidak dapat dibebankan ke pundak praktisi penegak hukum-keadilan, telah saatnya ilmuwan kriminal yang ilmu terkait lainnya memberikan kontribusinya melalui hasil-hasil penelitian yang obyektif, sahih, valid dan andal. Dengan begitu ilmu akan berkembang dan masyarakat merasakan kemanfaatannya. Semoga. (Budi Nugroho)

Kamis, 25 Juli 2013

RUU KUHP: Antara Lain Tentang Santet, Zina dan Penyadapan dan Kesiapan Polri

Oleh Awaloedin Djamin

Setelah pemerintah mengajukan dua RUU ke DPR, yaitu RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), banyak tanggapan di media cetak dan media elektronik. Mengenai RUU KUHAP yang banyak disorot adalah wewenang KPK untuk penyadapan yang perlu izin Hakim Komisaris. Ini dianggap akan mengurangi kemampuan KPK dalam pemberantasan korupsi. Masalah RUU KUHAP yang berkaitan dengan Polri, misalnya tentang “penyelidikan”, “pembantu penyidik”, “koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis atas PPNS”, dan lain-lain tidak disinggung di media massa.

Penulis telah menyarankan agar melalui pakar yang menjadi Penasehat Ahli Kapolri, PP Polri dan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian (sekarang dikenal dengan Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia – ISPPI), keluarga besar Polri masih dapat mengajukan saran dan tanggapan untuk penyempurnaan RUU KUHAP, seperti yang diminta DPR dan masyarakat. Hendaknya RUU KUHAP tidak menghapus yang sudah baik dalam UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bila RUU KUHAP telah diundangkan, Polri tentu harus melaksanakannya.

UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang mengganti HIR (Herziene Inlands Reglement) dari zaman kolonial. KUHAP yang baru tersebut telah mengutamakan kepastian hukum, hak asasi manusia, hak tersangka dengan prinsip “within sight and within hearing” dalam proses penyidikan yang transparan. Alasan perbaikan dengan RUU KUHAP yang baru adalah karena Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional dan hasil studi banding ke beberapa negara, termasuk ke negara maju. Jadi, KUHAP (No. 8 Tahun 1981) bukan produk hukum kolonial seperti yang ditulis di beberapa surat kabar.

Yang memang masih merupakan warisan kolonial adalah KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht, walaupun telah banyak diubah. Falsafah Wetboek van Strafrecht adalah “vergeldingstheorie”, yang menghukum kejahatan yang dilakukan semacam “balas dendam”. Dunia demokrasi telah lama mengubah “penal institution” menjadi “correctional institution”, dari menghukum kejahatan menjadi membina si penjahat agar kembali sebagai “orang baik” di masyarakat. Menteri Kehakiman Sahardjo di masa Kabinet Djuanda mengganti istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” dengan maksud mengubah falsafah “vergeldingstheorie” menjadi “correctional institution”. Namun, selama KUHP masih berdasar pada Wetboek van Strafrecht, perubahan tersebut tidaklah mungkin. Keadaan dan mutu Lembaga Pemasyarakatan juga tidak banyak berubah, bahkan banyak yang lebih buruk daripada zaman kolonial. Memang ada beberapa perubahan dalam sistem pemasyarakatan, tetapi karena fasilitas fisik dan kemampuan personel belum memadai, maka timbul pameo “bila masuk LP sebagai penjahat teri, maka keluar menjadi penjahat kakap”, LP dianggap sebagai lembaga pembina penjahat agar lebih “pintar”.

RUU KUHP dalam Rancangan Buku kesatu, menyebut falsafah Wetboek van Strafrecht sebagai “Daad Strafrecht” dan yang baru adalah “Daad-dader Strafrecht” yang dianggap lebih manusiawi, lebih memperhitungkan “kejahatab” (daad) dan pelakunya (dader). Bila KUHP lama hanya mengenal “orang” sebagai tersangka, maka RUU KUHP akan memasukkan korporasi dapat ditindak. Kejahatan korporasi tersimpul dalam RUU KUHP. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, KUHP-nya mengancam hukumman berat bagi barangsiapa yang “menyakiti” anggota Polisi yang sedang bertugas. Gangster besar seperti Al Capone pun dikatakan lebih baik mengebom toko daripada menyakiti anggota polisi yang bertugas. Rumusan mengenai ini belum jelas di RUU KUHP. Karena pasal-pasal dalam RUU KUHP lebih banyak dari yang lama, juga nomor pasal banyak yang berubah, maka bila selama puluhan tahun seorang anggota polisi tahu tentang pasal-pasal KUHP seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, maka dengan diundangkannya RUU KUHP yang baru, anggota polisi terpaksa “mencuci kepala” dengan menghafal pasal-pasal baru.

Walaupun telah diadakan perbaikan dari Wetboek van Strafrecht, namun karena vergeldingstheorie yang melatar-belakanginya, maka vonis pengadilan tidak jelas apa menghukum kejahatan atau sudah memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk “memasyarakatkan” narapidana. Banyak suara yang menganjurkan agar koruptor dan menyalah-gunakan narkoba dihukum berat, agar ada dampak “jera”. Suara demikian tanpa disadari berpihak pada vergeldingstheorie, teori menghukum kejahatannya. Yang ramai diperdebatkandi media massa, juga oleh para pakar, antara lain dimasukkannya “santet”, “zina” atau “kumpul kebo”, “penyadapan”, dan lain-lain dalam RUU KUHP yang baru, juga unsur-unsur dalam pasal-pasal RUU KUHP. Masalah ini sempat pula dibahas dalam Indonesia Lawyers Club. Dalam tayangan tersebut, tidak ada anggota Polri yang hadir dan menanggapinya.

RUU KUHP dan RUU KUHAP adalah penting bagi Polri, selain UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, oleh karena itu harus dipelajari oleh Polri perkembangannya, termasuk pada lembaga-lembaga pendidikan seperti Akpol, PTIK, dan Sespim karena suatu Undang-Undang dapat dipahami, bila juga diketahui sejarah lahirnya (wording-geschiedenis). Dengan demikian bila kedua RUU tersebut diundangkan, Polri telah siap untuk melaksanakannya. Hal-hal baru seperti santet, kumpul kebo, penyadapan, dan lain-lain memerlukan kemampuan penyelidikan dan penyidikan yang baru pula. Pembuktian kejahatan tersebut adalah sukar. Untuk itu disarankan agar Polri terus memperkuat Pusdik Reserse, bila perlu dengan pembaruan dengan Bundes Kriminal Amt (BKA) Jerman dan lain-lain negara. Polri adalah lembaga utama negara dalam pelaksanaan KUHP dan KUHAP.

Kekhususan hukum kepolisian, baik di KIK-UI ataupun pasca sarjana PTIK dari sekarang sudah harus membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP karena merupakan bagian hukum kepolisian yang penting. Tantangan tugas Polri akan bertambah berat di masa depan dan rakyat mengharapkan agar aparat kepolisian benar-benar profesional dalam melindungi jiwa, harta benda, dan hak-haknya. ***


Selasa, 23 Juli 2013

Beberapa Saran Penyempurnaan RUU KUHAP

Oleh Awaloedin Djamin

Pendahuluan  

RUU KUHAP dimaksudkan untuk memperbaiki UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang waktu diundangkannya dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang menggantikan HIR (Herziene Inlands Reglement). Penyempurnaan juga berhubungan dengan beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi dan perbandingan dengan Hukum Acara Pidana negara-negara maju, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia bagi tersangka, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum. Walaupun UU Nomor 8 Tahun 1981 telah berumur lebih dari 30 tahun, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kelemahan-kelemahan.

Kaitan Hukum Acara Pidana dengan Tugas Polri

KUHAP merupakan sistem peradilan pidana yang terpadu dan terkait dengan fungsi utama Polri yang lain dari Represif justisiil, juga yang non justisiil (diskresi), Preventif, Pre-emptif dan juga dengan Pemasyarakatan dan merupakan sistem peradilan pidana yang lebih luas dari KUHAP. Penyelidikan tidak dimasukkan dalam RUU KUHAP dan pelaksanaannya diatur oleh Polri dan instansi penyidik. Apa ini perlu dicantumkan dalam penjelasan atau tidak. Pembantu penyidik diatur oleh Polri dan instansi penyidik juga dicantumkan dalam Penjelasan.

Pasal 6 disarankan “pejabat pegawai negeri” agar dilengkapi menjadi “pejabat pegawai negeri sipil” sesuai dengan UU No. 43 Tahun 1999 yang membagi kepegawaian negara menjadi Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, dan Anggota Polri. Sebutannya penyidik juga sudah dikenal sejak dulu sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Perlu diperhatikan agar RUU KUHAP tidak menghapus hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah dilaksanakan serta Peraturan Pemerintah yang baru mengenai “koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis atas Polsus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”.

Perlu pula dikaji keadaan  44 lembaga yang memiliki PPNS, dan hanya Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, yang masih memiliki kantor wilayah di Provinsi dan kantor kementerian di Kabupaten/Kotamadya. Yang lain tidak jelas sampai sekarang. Wewenang penyidikan pegawai negeri sipil sekiranya tidak diotonomkan. Tentang PPNS ini kiranya perlu dikaji secara seksama. UU No. 2 Tahun 2002 menugaskan Polri untuk menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Jadi tidak hanya informasi kriminal Polri, karena itu koordinasi/kerjasama dengan PPNS, TNI-AL (UU Perikanan), Kejaksaan Agung dan KPK sangat diperlukan. Sampai hari ini kita belum mempunyai informasi kriminal secara nasional, yang penting dalam pembuatan rencana preventif.

Hal lainnya adalah tentang Rutan dan tempat penyimpanan barang bukti apa tetap berjalan seperti sekarang atau tidak. Hubungan penyidik dengan penuntut umum untuk saling berkonsultasi juga harus dipehatikan. Seperti sudah dianjurkan dengan UU No. 8 Tahun 1981 untuk menghindarkan bolak-balik BAP antara Polri dan Kejaksaan. Kemudian tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Bab IX), tidak mengurangi pengawasan internal Polri atas penyidikan oleh penyidik Polri.
Agar RUU KUHAP mencapai sasaran yang diharapkannya, kiranya masukan untuk penyempurnaan hendaknya terus dibuka sebelum disahkan DPR. ***





Senin, 22 Juli 2013

Blackberry: Penipuan, Pesan Berantai BBM Undian Berhadiah Mobil

Pesan berantai yang beredar di BBM (Blackberry Messenger) kian meluas. Pesan ini mengiming-imingi calon korban sebagai pemenang hadiah undian. Blackberry perlu berikan konfirmasi masalah ini sebab sudah masuh ranah penipuan.

PR Manager BlackBerry Indonesia, Yolanda Nainggolan akunya pada Detik jika pesan berantai yang ada memang kabar sesat. Penipuan yang terjadi, sebutnya, akan ditangkal dengan sebuah iklan atau info terkait hoax tersebut.

Blackberry sendiri terima banjir pertanyaan terkait undian hoax tersebut. Sebab, program undian yang dikirim via BBM cukup menyakinkan. Berikut nukilannya.

“Selamat Kepada, pengguna atau pemilik Pin BlackBerrySmartPhone anda telah beruntung Memenangkan Hadiah Uang tunai @20jt (Dua Puluh Juta Rupiah) dalam rangka Program Undian

‘Kejutan RIM BlackBerry’
bagi-bagi seribu hadiah 2013.
dengan No. ID RKP :( 254788SL)

Pengundian diikut sertakan seluruh pengguna BlackBerry Smartphone Se_Indonesia.

Program Promo Undian Resmi dengan Surat Pengesahan dan Legalisir dan di Sahkan langsung Oleh;

NOTARIS :
No.Lampiran:Ud.05.Rkp39. IIV-5 Sah

BANK INDONESIA (BI) :
No.Pol/0154/III/HDL/2013

PEMKOT DKI Jakarta :
No.S.Izin.Dki/1081/IV/PR2013

DEPSOS RI :
No.217-01-IV-UndDepsos RI-2013

Dirjen Pajak RI :
No.pjk-5720/01unRkp/399-IX.2013

Pajak Hadiah Sebesar 10% (Rp 5.000.000,-) yg tidak dibebankan kepada pemenang, karena sudah di tanggulangi oleh: Perusahaan selaku Penyelenggara Program =>

KEJUTAN BLACKBERRY INDONESIA”.

Pesan berantai tersebut juga cantumkan kontak lengkap yang bisa dihubungi mulai telepon, email, hingga alamat website. Bahkan, di situs yang beralamat KejutanBlackberry77.webs.com tertampang foto-foto pemenang dan iming-iming hadiah utama berupa mobil Honda Jazz RS.


Situs tersebut juga dilengkapi dengan navigasi daftar pemenang, syarat dan ketentuan pemenang, alamat lengkap kantor RIM Blackberry di Jakarta serta mencatut nama-nama perusahaan lain yang diklaim sebagai mitra. (sidomi.com)

PENANGANAN MASALAH PAPUA DARI SEGI KAMTIBMAS

Latar Belakang Permasalahan Keamanan di Papua
Papua memang paradoksal. Bumi yang kaya namun penduduknya miskin, negeri yang damai namun mematikan. Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas dibunuh. Trauma militerisme selama tiga dasawarsa terakhir rupanya begitu mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang selama Orde Baru adalah bagian dari militer. Dengan demikian kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar sedangkan kekerasan petugas terhadap warga dianggap pelanggaran HAM. Betulkah? Apakah masyarakat yang terlalu berprasangka yang membuat segalanya menjadi serba salah? Ataukah kita yang belum berhasil berubah dari paramiliterisme yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan senjata dan kekerasan? Ataukah keduanya?  
Untuk memahami Papua tidak cukup hanya dengan empati dan ide-ide. Papua adalah sebuah realitas yang mungkin berbeda, yang mungkin membutuhkan pemahaman, empati, ide-ide dan kejujuran. Bagaimana kata-kata menyatu dengan perbuatan yang dilakukan. Elite demokrasi kita berhasil membuat kita berpikir bahwa kita sudah merdeka. Namun kita lah yang belum berhasil memikirkan makna kemerdekaan yang kita raih. Juga makna kemerdekaan bagi Papua dalam naungan Sang Burung Garuda dan Pancasila dengan segala konsekuensinya.
Mari kita mulai bicarakan Papua. Bicara yang harus mengejewantahkan menjadi ide-ide yang harus menjelma menjadi realita. Realita yang diwarnai dengan kejujuran yang akan dibawakan dalam perilaku karena jika tidak, maka sia-sialah segala usaha kita selama ini.

Rekomendasi PP Polri dalam Penanganan Masalah Papua ditinjau dari Segi Kamtibmas
Berbicara masalah keamanandi bumi Papua adalah berbicara masalah image atau kesan yang seolah-olah bahwa Papua merupakan wilayah rawan dan penuh dengan potensi friksi/konflik baik yang bersifat horizontal (kekerasan antar suku) dan yang bersifat vertikal (antara masyarakat dengan aparatur negara baik aparatur keamanan maupun Pemerintah Daerah). Kondisi seperti ini diperkuat dengan fakta terjadinya berbagai konflik yang belakangan ini terjadi, mulai dari perang antar suku, penembakan terhadap aparatur keamanan, dan terakhi yang masih segar dalam ingatan adalah konflik antara serikat pekerja dengan PT. Freeport di Timika yang berimbas pada masalah Kamtibmas.
Ditinjau dari sisi pengelolaan negara, sesungguhnya potensi-potensi konflik tersebut juga terjadi di daerah lain seperti isu unjuk rasa di Jawa, isu kejadian di Mesuji Lampung, kerusuhan di Ambon, dan masih banyak lagi. Namun image mengenai masalah Papua ini menjadi berbeda mengingat Papua adalah wilayah strategis yang rawan terhadap intervensi karena adanya kepentingan politik baik nasional maupun internasiona terutama ditinjau dari sisi:
a.       Sejarah bergabungnya wilayah Irian Barat ke NKRI, masih ada yang menganggap cacat hukum dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu;
b.      Masyarakat Papua merasa bukan termasuk rumpun Melayu tetapi termasuk ke dalam rumpun Melanesia (kita sering menyebut bangsa Indonesia adalah rumpun Melayu);
c.       Masyarakat Papua menganggap tindakan Polri lebih mengutamakan tindakan represif sehingga menjauhakan hubungan emosional kemitraan Polri dengan masyarakat semakin jauh, lebih ekstrim lagi masyarakat menganggap Polri adalah bagaikan musuh dalam selimut;
d.      Perasaan masyarakat Papua yang menganggap ada perlakuan diskriminatif walaupun sudah banyak program yang diperuntukkan bagi masyarakat Papua;
e.       Tidak tuntasnya penanganan kasus-kasus yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM berat sehingga sering dijadikan isu politik yang berdampak pada masalah keamanan;
f.       Kebijakan pelaksanaan otonomi khusus sesuai UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif karena kendala regulasi (Perdasi dan Perdasus), kelembagaan, aparatur, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan serta pemekaran daerah yang dipaksakan.
Faktor-faktor di atas diduga menjadi pendorong bagi semua pihak untuk selalu memantau dan memanfaatkan peluangg sesuai dengan kepentingannya. Karena  kondisi rawan intervensi politik tersebut, maka peristiwa-peristiwa kriminal maupun politik yang terjadi di Papua menjadi berita yang mudah untuk diekspos secara nasional maupun internasional yang dapat merugikan citra pemerintah RI khususnya Polri.
Dilihat dari berbagai bentuk peristiwa yang terjadi di Papua, sebenarnya merupakan peristiwa kriminal biasa, jumlahnya relatif kecil tidak sebanding dengan image dan gaung pemberitaannya dan pada dasarnya dapat diselesaikan secara yuridis. Namun mengingat posisi Papua yang sangat rawan dengan berbagai intervensi dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak, maka dalam menangani permasalahan yang muncul di Papua Polri tidak boleh menganggap sebagai masalah biasa dan diselesaikan secara yuridis melalui pendekatan keamanan semata tetapi diselesaikan melalui pendekatan sosiologis (agama, budaya dan adat) dan dikomunikasikan dengan menggunakan hati nurani bukan kekuasaan. Di sinilah pentingnya, melalui diskusi panel yang diselenggarakan oleh PP Polri ini berusaha untuk merumuskan solusi konstruktif dan komprehensif untuk mencari jalan keluar terhadap masalah pembinaan keamanan di Papua. Langkah konkret yang dapat direkomendasikan antara lain:
1.      Bidang Operasional
a.       Komunikasi konstruktif antara Polri dengan instansi terkait dan Polri dengan masyarakat
Komunikasi konstruktif di sini adalah proses penyamaan persepsi yang lebih bersumber pada hati nurani daripada kekuasaan atau lebih tegasnya egosentris kekuasaan terhadap berbagai masalah keamanan yang terjadi melalui pelibatan lembaga adat, keagamaan, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta berbagai forum komunikasi yang ada seperti Komite Intelijen Daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Pembauran Masyarakat dan lain-lain sehingga sumbatan komunikasi khususnya antara aparatur negara dengan “masyarakat asli” Papua dapat terbuka.
b.      Penegakan hukum
Penerapan Restorative Justice yang tidak melanggar UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk peradilan adat, sebagai alternatif penegakan hukum. Penereapan di sini tidak hanya dilakukan oleh Polri dan para pihak yang terlibat, tetapi dengan melibatkan unsur penegak hukum (criminal justice system), di mana penyelesaian peristiwa pidana di luar pengadilan oleh Polri harus sepengetahuan Jaksa dan mendapat persetujuan Hakim (Pengadilan).
Penerapan Restorative Justice di wilayah Papua dipandang tepat karena restorative justice memperhatikan repon yang lentur terhadap kejahatan, orientasi pada kepentingan program, responsif terhadap perilaku kejahatan, kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu dan bersepakat menyelesaikan masalah, dampak stigmasi terhadap pelaku, keseimbangan yang harmonis, pelibatan anggota masyarakat, solusi terbaik, serta dampak kerugian dan kebutuhan korban.
c.       Penanganan unjuk rasa yang tidak melanggar nilai-nilai HAM
Salah satu panelis mengingatkan bahwa negara-negara Eropa Timur jatuh karena buruh, negara-negara Amerika Latin dan Thailand jatuh karena militer, dan pengalaman yang sudah terjadi di Indonesi, pemerintah jatuh karena mahasiswa. Pengalaman ini menunjukkan bahwa penanganan unjuk rasa pada umumnya khususnya terhadap unjuk rasa mahasiswa secara umum (bukan hanya di Papua) harus dikelola dengan cermat, jangan sampai karena salah penanganan maka justru Polri yang dianggap menjadi pemicu berkembangnya unjuk rasa. Harus disadari, bahwa ditinjau dari psikologi massa, kegiatan unjuk rasa cenderung mudah terjebak pada tindakan anarkis. Jika tindakan anarkis ini dihadapi dengan respon yang berlebihan dari aparat keamanan maka akan mengakibatkan tindakan yang semakin tidak terkendali yang berpuncak pada situasi chaos, yang tanpa disadari akan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan yang pada akhirnya justru menjadi pemicu terjadinya unjuk rasa yang lebih besar dan lebih anarkis.
2.      Bidang Pembinaan
a.       Pembinaan personel Polda Papua
Sesuai dengan UU Otsus, beberapa hal harus dipedomani dalam hal:
1.      Penerimaan Bintara dan Perwira Polri
Memberikan kuota tertentu pada masyarakat asli Papua untuk menjadi Bintara dan Perwira Polri. Kebijaksanaan dalam seleksi penerimaan memperhatikan sistem hukum yang berlaku di Papua, budaya dan adat istiadat serta Kebijaksanaan Gubernur Papua.
2.      Pendidikan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan pelatihan Bintara Polri harus memasukkan muatan lokal. Muatan lokal ini menjadi sangat bermanfaat bagi para Bintara Polri dalam melaksanakan tugasnya, mengingat masyarakat asli Papua terdiri dari ratusan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda pula.
3.      Penempatan Bintara dan Perwira Polri dari Luar Papua
Penempatan personel polisi tidak hanya memperhatikan aspek profesional kepolisian saja, tetapi harus dibekali pengetahuan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat dan budaya di masyarakat Papua. Dalam hal ini secara berkelanjutan Polda Papua wajib memberikan penyegaran dan pencerahan. Di samping hal tersebut di atas, penempatan personel di Papua juga harus mampu menghilangkan image atau kesan bahwa SDM Polri yang ditempatkan di Papua adalah SDM bermasalah dan salah satu penyebab permasalahan di Papua adalah bersumber dari SDM Polri yang ditugaskan di Papua. Untuk unsur pimpinan agar melalui seleksi khusus dan ada kejelasan tentang perjalanan karirnya.
b.      Penugasa personel Brigade Mobil (Brimob)
Untuk menunjang keberhasilan personel Brimob dalam menjalankan tugas di Papua, maka personel Brimob di samping memiliki kompetensi harus diberi pembekalan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat masyarakat Papua, dan pemahaman mengenai dampak dari risiko kegagalan tugas yang bersumber dari perilaku yang melanggar nilai HAM dan nilai budaya setempat.
c.       Kepemimpinan Polri di Papua
Mengingat masyarakat Papua sebagian besar beragama Nasrani, maka pimpinan Polri khususnya dan penegak hukum lainnya seyogyanya dipilih personel yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan kelompok masyarakat yang beragama asrani. Untuk mendukung kebijakan ini, pejabat Polri pada semua level organisasi seyogyanya senantiasa ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan agama khususnya peringatan hari-hari besar agama Nasrani.

Otonomi Khusus di Papua dalam Rangka Mendukung Kamtibmas yang Kondusif
Makna otonomi khusus bagi Papua adalah kewenangan khusus bagi Pemda Provinsi Papua Barat untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang0undangan dalam kerangka NKRI. Makna lainnya adalah Pemda Provinsi Papua Barat memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerja penyelenggaraan Pemda dan mengelola kekayaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua. Pelaksanaan otsus sendiri di Papua selama ini belum efektif, ada kendala dalam aspek regulasi, kelembagaan, aparatur, pemberdayaan masyarakat, manajemen pemerintahan dan pemekaran daerah.
Perdasus tentang pembagian dana otsus antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota hingga saat ini belum selesai. Pelaksanaan pembagian dana otsus masih berpedoman pada peraturan gubernur Papua sehingga sebagian masyarakat menilai belum transparan dan belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat asli Papua. Tersendatnya penyelesaian Perdasus tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur turut menjadi tinjauan aspek regulasi. Sedangkan dari aspek kelembagaan adalah kurang harmonisnya hubungan antara Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB), dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Keberadaan MRP selama ini belum optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai representasi kultural yang memperjuangkan kepentingan masyarakat adat, perempuan, dan agama.
Dari aspek aparatur Pemda, meskipun telah dilakukan langkah-langkah pengembangan kapasitas aparatur Pemda, namun belum memadai dalam mendukung peningkatan kinerja Pemda. Perlu disusun secara komperhensif program pengembangan kapasitas aparatur pemda dalam bentuk “program diklat” yang disertai “program pemagangan” dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur pemda Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Upaya pengembangan kapasitas aparatur Pemda semakin penting dilakukan, karena adanya peningkatan jumlah aparatur sejalan dengan bertambahnya daerah otonom baru, yang sejak era reformasi telah bertambah menjadi 40 Kab/Kota, yang semula hanya 9 Kab/Kota. Hingga saat ini masyarakat asli Papua belum terjangkau secara memadai dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perekonomian, serta terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana publik, sehingga masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian masyarakat asli Papua. Masyarakat asli Papua merasa terisolasi, terbelakang, dan tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, baik yang berdomisili di Papua maupun di wilayah lainnya.
Menurut aspek manajemen pemerintahan daerah, belum terwujudnya sinergi program antara program pemda provinsi dengan program pemda kabupaten/kotakarena belum efektifnya koordinasi perencanaan. Belum dilaksanakan secara efektif juga program-program pembangunan yang diamanatkan di dalam UU No. 21 Tahun 2001 khususnya pada bidang pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup, serta kependudukan dan ketenagakerjaan yang belum banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat asli Papua. Dari aspek pemekaran daerah, kebijakan moratorium pemekaran daerah mulai berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2009. Namun, usulan pemekaran daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sampai saat ini masih terus bertambah. Berdasarkan data yang ada saat ini, terdapat 54 usulan pembentukan DOB yang terdiri dari 7 usulan pembentukan provinsi, 43 usulan pembentukan kabupaten, dan 4 usulan pembentukan kota. Hingga saat ini, usuan tersebut belum ditindaklanjuti.

Upaya Pemerintah untuk Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
Sejak berlakunya otsus Papua, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan otsus Papua. Upaya yang dilakukan pemerintah, antara lain:
·           Penyelesaian regulasi sesuai amanat UU Otsus Papua, yakni:
1.      PP No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (diubah dengan PP No. 64 Tahun 2008)
2.      PP No. 19 Tahun 2010 tentang Gubernur sebagai wakil pemerintah (diubah dengan PP No. 23 Tahun 2011) yang berlaku secara umum termasuk di Papua.
·           Fasilitasi penyusunan Perdasi dan Perdasus
1.      Perdasi: 6 Perdasi sudah selesai dan 16 Perdasi belum selesai
2.      Perdasus: 3 Perdasus sudah selesai dan 10 Perdasus belum selesai
3.      Upaya Fasilitasi: Provinsi Papua telah berkonsultasi dengan Kemendagri 4 rancangan Perdasus dan 2 rancangan Perdasi, sedangkan Provinsi Papua Barat telah berkonsultasi 1 rancangan Perdasus dan 1 rancangan Perdasi
4.      Kemendagri mendorong Pemda Papua dan Papua Barat agar segera menyelesaikan Perdasi dan Perdasus
·           Fasilitasi penataan kelembagaan khususnya untuk pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP)
1.      Telah diterbitkan PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Pemerintah juga telah memfasilitasi pengisian anggota MRP periode 2005-2010.
2.      Untuk pengisian anggota MRP 2011-2016, telah ditetapkan Kepmendagri No. 161-223 Tahun 2011 tanggal 31 Maret 2011 dan telah dipisahkan antara MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat serta telah terpilih pimpinan masing-masing MRP.
3.      Pengangkatan anggota DPR Papua (11 orang) juga telah difasilitasi sebagai pelaksanaan putusan MK Nomor 116/PUU-VII/2009 melalui fasilitasi penyusunan Perdasus yang hingga saat ini masih dalam proses di daerah.
4.      Penyelesaian Perdasi pembentukan sekretariat MRP Provinsi Papua Barat juga turut difasilitasi.
5.      Penguatan kelembagaan MRP Provinsi Papua dan Papua Barat melalui program pengembangan kapasitas terutama untuk meningkatkan pemahaman mengenai wewenang, tugas dan fungsi MRP.
·           Pengembangan kapasitas aparatur pemda
1.      Untuk meningkatkan kompetisi aparatur Pemda dalam penyelenggaraan pemerintahan, telah dilakukan kegiatan-kegiatan seperti Diklat, seminar, workshop, studi banding, dan lain-lain.
2.      Mendirikan IPDN di kota Jayapura yang diresmikan pada 9-10 Desember 2011 oleh Mendagri. Kuota siswa/i IPDN tersebut masyoritas terdiri dari orang asli Papua sebanyak 167 siswa.i. pada kesempatan tersebut dilakukan penandatanganan MoU untuk kerja sama pengembangan kapasitas aparatur Pemda antara pemerintah pusat dengan pemda Provinsi Papua.
·           Pengelolaan dana otsus untuk pembangunan Papua
1.      Pada APBD Provinsi Papua dan Papua Barat, kontribusi dana otsus terhadap total pendapatan yaitu Papua 49,39% dan Papua Barat 61,65%.
2.      Bila dibandingkan dengan Provinsi lain yang memiliki jumlah penduduk yang hampir sama, perbandingan antara APBD Papua dengan Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 sebesar 459,61%, sedangkan perbandingan antara APBD Papua Barat dengan Maluku Utara pada tahun 2011 sebesar 467,24%.
3.      Tren alokasi dana otsus di Papua dan Papua Barat dibandingkan dengan provinsi lain menunjukkan bahwa kedua provinsi tersebut mendapat perhatian lebih.
4.      Dana otsus yang telah diberikan pemerintah jauh lebih besar (Rp 28,927 Trilliun) daripada hasil yang diberikan Papua dan Papua Barat (Rp 18 Trilliun).
·           Penataan daerah atau pemekaran daerah
1.      Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, telah dibentuk daerah otonom baru yang semula 9 kabupaten/kota menjadi 40 kabupaten/kota (29 di Papua dan 11 di Papua Barat).
2.      Saat ini masih dalam tahap pengkajian atas usulan pembentukan daerah otonom baru yang berjumlah 7 provinsi dan 47 kabupaten/kota yang pelaksanaannya masih menunggu selesainyarevisi UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur mengenai pokok-pokok desain besar penataan daerah (desertada).

Tindak Lanjut untuk Efektivitas Pelaksanaan Otsus Papua
Ada sembilan langkah tindak lanjut untuk efektivitas pelaksanaan otsus Papua yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan meningkatkan kemampuan jajaran Pemda, DPRP/PB, dan MRP Provinsi Papua dan Papua Barat dalam penyeenggaran pemerintahan daerah. Kedua dapat juga dilakukan dengan memfasilitasi proses penyelesaian Perdasus dan Perdasi termasuk Perdasus pembagian dana otsus antara provinsi dengan kabupaten/kota. Kemudian ketiga perlu pula dilakukan penjajakan kemungkinan adanya PNS dari Papua dan Papua Barat untuk dalam waktu tertentu diperkerjakan di pemerintah pusat (kementerian/lembaga) atau provinsi lain, atau sebaliknya menempatkan PNS pusat untuk peendampingan dalam hal tertentu di Provinsi Papua dan Papua Barat. Keempat, memfasilitasi percepatan proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua. Kelima adalah melakukan evaluasi tahunan pelaksanaan otsus secara komprehensif. Untuk tahun 2011 hasilnya dilaporkan pada akhir Desember 2011 dan selanjutnya akan dijadikan bahan penyempurnaan instrumen evaluasi dan solusi kebijakan untuk efektivitas pelaksanaan otsus Papua ke depan. Keenam, bersama instansi terkait melakukan sosialisasi keberadaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Ketujuh, membentuk tim asistensi Kemendagri dalam rangka melakukan pengawalan dan pendampingan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kapasitas pemda yang mulai bertugas pada awal tahun 2012. Kedelapan, melakukan pembinaan intensif atas penyelenggaraan pemda pada daerah otonom baru. Terakhir, kesembillan, melakukan kajian administratif dan teknis atas usulan pembentukan daerah otonom baru khususnya pembentukan provinsi.

Perkembangan Terakhir Papua dan Papua Barat
Akhir-akhir ini stabilitas keamanan di Papua kurang kondusif akibat terjadinya beberapa peristiwa seperti perampokan, perampasana, penyanderaan, peperangan antar suku, penembakan di puncak mulia dan di PT. Freeport, pembunuhan, dan konggres II yang berlanjut rusuk merupakan penyebab terganggunya stabilitas keamanan di Papua. Akar masalah yang terjadi di Papua antara lain penggunaan dana otonomi khusus yang beelum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat asli Papua, lebarnya kesenjangan sosial ekonomi, dan tingginya dinamika politik dalam pelaksanaan Pilkada. Melalui koordinasi dengan instansi terkait dan pemda, Kemendagri terus melakukan langkah-langkah penanganan masalah kamtibmas di Papua.

Rekomendasi Terkait dengan Pembangunan
Terkait pembangunan, rekomendasi yang bisa diberikan adalah melakukan evaluasi pelaksanaan otsus sesuai hasil yang dicapai. Percepatan pembangunan Papua perlu menjadi prioritas utama bagi pemerintah Indonesia. Perlu dilakukan dialog yang konstruktif dengan para tokoh Papua untuk mendapatkan informasi atau aspirasi terkait dengan penyelesaian konflik di Papua. Pembangunan tanah papua harus melibatkan masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. Perlu juga menempatkan putra daerah Papua untuk berkompetisi dalam berbagai bidang kegiatan pembangunan di luar Papua. Tokoh agama, tokoh adat, tokoh ormas/LSM dapat dirangkul untuk dapat menyatukan persepsi dalam membangun dan memajukan Papua dan Papua Barat.

Rekomendasi Terkait dengan Ketenteraman dan Ketertiban Papua
Rekomendasi yang diberikan untuk ketenteraman dan ketertiban di Papua adalah meningkatkan kerja sama yang harmonis antara APKAM dengan pemerintah dan masyarakat dalam memelihara ketenteraman dan ketertiban di daerah masing-masing. Perlu juga mengutamakan dialog dalam penyelesaian setiap masalah dan meningkatkan peran pemda dalam menyelenggarakan stabilitas keamanan nasional di daerah. Adanya kembali kegiatan siskamling serta penyelenggaraan kewaspadaan dini, deteksi dini, cegah dini, dan lapor cepat (kominda, FKDM) juga dapat menjadi rekomendasi. Rekomendasi lainnya adalah membangun jati diri bangsa melalui giat cinta tanah air dan wawasan kebangsaan serta perlunya kerja sama antara FKDM yang dibentuk oleh Kemendagri dengan ormas kepolisian dalam melakukan deteksi dini.

Partisipasi Tokoh Papua dalam Mendukung Kamtibmas
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengamanatkan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan tujuan adanya kepolisian negara adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Fungsi sebagaimana disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tersebut tentunya sudah diterjemahkan dalam kebijakan dan protap pelaksanaan operasional di lapangan oleh seluruh jajaran kepolisian termasuk oleh Kepolisian Daerah Papua. Namun demikian, dalam tataran operasionalisasi fungsi kepolisian di lapangan sering terjadi benturan. Benturan ini bisa terjadi karena persaingan kepentingan, atau karena kepentingan pribadi yang mengorbankan kepentingan umum atau bahkan kepentingan kelompok yang mempengaruhi fungsi Kepolisian.
Saya melihat kepolisian di Papua belum melaksanakan fungsi kepolisiannya secara benar dan profesional. Pola penanganan Kamtibmas di Papua bernuansa represif, sehingga hubungan emosional ataupun kemitraan aparat kepolisian dengan masyarakat semakin jauh. Masyarakat memandang polisi sebagai musuh dalam selimut sehingga enggan melapor ke polisi apabila menemukan suatu masalah di lingkungannya. Represifme pola penanganan Kamtibmas di Papua dapat dilihat dalam menghadapi setiap gerakan aksi masyarakat di mana aparat yang bertugas lebih menunjukkan arogansi, akhirnya menimbulkan kekisruhan keadaan, lalu terjadi huru hara yang sulit terkendali, dan bahkan menimbulkan korban yang sulit dipertanggungjawabkan siapa pelakunya.
Dalam undang-undang No. 2 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua diamanatkan bahwa kepolisian daerah Papua dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat di daerah penugasan. Demikian pula dalam penempatan baru atau relokasi satuan Kepolisisan terkoordinasi dengan Gubernur. Dan juga dalam hal untuk menjadi Perwira, Bintara, Tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat yang diselaraskan dengan kebijakan Gubernur Provinsi Papua, diberi kurikulum muatan lokal dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Disinilah perlu dilibatkan peran tokoh Papua untuk ikut berpartisipasi memberikan pandangan tentang sistem dan nilai-nilai kearifan lokal kepada para Calon Perwira, Bintara, Tamtama Polri yang nantinya bertugas di Papua.
Sudah seharusnya kepolisian di Papua bertugas secara profesional, memahami fungsinya sebagai pelindung, pengayom masyarakat dan sebagai penegak hukum serta keadilan. Aparat Kepolisian sebaiknya lebih terkonsentrasi pada tugas pokoknya melindungi dan pengamanan dalam kota dari potensi ancaman dan gangguan kriminal, terorisme, penyebaran narkoba, ilegal logging, ilegal minning, dan lain-lain. Tidak terjebak dalam kepentingan sempit yang mengorbankan kepentingan umum. Jika kepolisian Papua bertugas pada tataran yang jelas dengan pendekatan yang save power, maka akan memudahkan partisipasi peran tokoh untuk ikut memperkuat sistem kamtibmas semakin nyata, tetapi kondisi di Papua saat ini sangat sulit keteribatan peran para tokoh Papua. Hal ini karena kelompok masyarakat yang dirugikan oleh aparat kepolisian semakin banyak, sehingga sangat sulit posisi para tokoh Papua untuk berbicara kebenaran yang hakiki kepada masyarakat. Apalagi dengan penambahan personel kepolisian dari luar Papua, semakin membuat kisruh psikologi keamanan masyarakat Papua. Rakyat Papua menjadi trauma ketika melihat semakin banyak aparat bersenjata hadir di lingkunganya karena kehadirannya pasti akan menimbulkan situasi ketidaknyamanan. Dengan kondisi seperti itu sebaiknya Pimpinan Polri harus mengubah kebijakan, jangan lagi menambah kekuatan Polri dari luar Papua, tetapi lebih dioptimalkan personel Polri dari Papua sendiri.

Pelaksanaan Teritorial dalam mendukung Kamtibmas di Papua demi Kedaulatan NKRI
Doktrin teritorial nusantara (dokternus) terdiri dari pembinaan wilayah dan pembinaan teritorial. Pembinaan wilayah menghasilkan prosperity, sedangkan pembinaan teritorial menghasilkan security. Sehingga ketika keduanya disatukan akan menghasilkan strong national resilience. Pembinaan teritorial (binter) menggunakan sistem senjata teknik (sistek) dan sistem senjata sosial (sissos), yang tujuannya adalah membentuk kesiapan tempur dan ketahanan mental. Binter terdiri dari operasi teritorial (opster) dan kegiatan-kegiatan teritorial (giatter). Opster berhubungan dengan potensi pertahanan dan bertujuan mengembalikan atau memelihara kewibawaan pemerintah, sementara giatter berhubungan denga organ TNI, Polri dan masyarakat untuk memelihara kekuasaan pemerintah tak terikat waktu dan ruang.
Pulau Papua terbagi menjadi dua, bagian barat provinsi Papua, Indonesia dan bagian timur wilayah Negara Papua New Guinea. Papua bagian barat dijajah oleh Belanda, sedangkan bagian timur dijajah oleh Inggris dan Portugis. Belannda dengan politik adu domba dan Inggris denga politik Commonwealth.
Menurut Soedjati Djiwandono (1999), would we prefer to have a single nationa-state out of this huge but almost unmanageable archipelago. Marked by abject poverty among the majority of people, by continued injustice, continous tension and conflicts because of seemingly irreconcilable differences in ethnic, religious and cultural terms? Or at the risk of being dubbed “blusphemous”, to split peacefully into 2, 3, 4, or even 5 smaller nation-states with a greater chance and hope for peace, greater prosperity, equality and justice for all?
Usulan yang diberikan Kodam XVII/Trikora adalah dengan pembentukan brigade infanteri khusus, satuan tugas tempur laut, 1 flight tempur taktis dan 1 flight tempur strategis, serta satuan radar kohanudnas.
Isu yang berkembang di awal abad XXI adalah perihal globalisasi, hak asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup. Kesemuanya ini bersentuhan langsung dengan masyarakat dan masyarakat perlu tahu persis bagaimana menghadapi isu tersebut.

Kebijakan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
Sejak awal integrasi Papua ke dalam NKRI, harus diakui ada setitik persoalan yang tertinggal, yaitu sejarah integrasi itu sendiri. Namun, apabila ditelusuri dan ditera dengan akal budi dan pikiran sehat, sebenarnya hal tersebut bermula darii latar belakang sejarah penjajahan Belanda dan keberadaan Hindia Belanda. Apapun, sejarah juga menyatakan bahwa resolusi PBB tahun 2505 telah menempatkan Papua dalam kedaulatan NKRI. Kalaupun kemudian di awal integrasi muncul ketidakpuasana sebagian masyarakat Papua, hal itu manusiawi. Tetapi mengangkat senjata untuk melakukan protes merupakan pengingkaran terhadap demokrasi, apalagi diukur dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah mengapa perlawanan yang tadinya hanya dilakukan oleh TPN/OPM tertransformasi menjadi perlawanan masyarakat? Pasti ada perlakuan yang salah selama lebih dari 45 tahun Papua dalam administrasi pemerintahan NKRI. Transformasi ideologi merdeka dapat digambarkan dengan:
ORDE BARU

                                                                            PEMBANGUNAN

                                                                                                REFORMASI
 
1963                                                                     1998                            2011
                                                                                                                                    OPM
                                                                                                                                    +
                                                                                                                                    MSYRKT



Beberapa fenomena yang kerap terjadi saat itu adalah sebagai berikut. Perbedaan tajam tentang permaslahan Papua di antara fraksi yang ada. Keterlibatan pimpinan keagamaan yang meluas dalam dinamika politik di Papua. Perbedaan tajam perspektif sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Pengembangan image kegagalan dan pengembalian otsus Papua. Marjinalisasi dan ketidakberpihakan terhadap OAP. Hak dan Tanah Ulayat. Stigmatisasi sparatisme terhadap OAP. Ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan keamanan di Papua. Realita penghormatan dan penegakan HAM. Rendahnya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Image pembangunan yang hanya berorientasi ke Jakarta. Isu depopulasi OAP dan pembatasan arus migrasi ke Papua. Perjuangan di fora internasional. Keseluruhan fenomena tersebut di atas menghasilkan ketidakpercayaan di masyarakat (public distrust).
Kondisi integrasi di Papua sendiri tidaklah cukup baik. Akibat inkonsistensi implementasi otsus dan kontroversi pelanggaran HAM muncullah masalah pada integrasi sosial. Masalah ini akan menjadi ancaman karena 1969 integrasi teritori Papua ke dalam NKRI usai. Mengapa usai? Karena dalam sidang umum yang menghasilkan Resolusi PBB 1825 dihadiri 111 negara di mana 80 negara setuju integrasi ke dalam NKRI dan 31 negara abstain sedangkan tidak ada negara tidak setuju.
Kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan secara sistematis, terencana, terukur, dan sinergis dengan berbagai upaya yang dilakukan swasta dan masyarakat untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua.
Percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat. Pelaksanaannya adalah melalui peningkatan koordinasi, sinergi dan sinkronisasi perencanaan, serta pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan yang berasal dari berbagai sumber pendanaan dan pelaku pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. Percepatan pembangunan ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2010-2014 dan RPJM Provinsi Papua dan Papua Barat serta memperhatikan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Strategi pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan pembangunan sosial ekonomi dan sosial politik dan budaya. Dari sosial ekonomi dilakukan melalui peningkatan hasil guna dan daya guna pelayanan publik di bidang ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, transportasi terpadu, infrastruktur dasar, dan pengembangan ekonomi rakyat. Sementara itu dari sosial politik dan budaya dilakukan melalui pembangunan komunikasi yang konstruktif antara pemerintah dan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat bidang sosial ekonomi dapat dilakukan dengan menyusun prioritas. Untuk ketahanan pangan, prioritaskan ketahanan pangan pada daerah rawan pangan melalui pengembangan tanaman pangan lokal di kawasan pedesaan dan kawasan terisolir. Sedangkan untuk penanggulangan kemiskinan, prioritaskan pada pemberian bantuan jaminan sosial, pengembangan kapasitas dan pemberian modal usaha bagimasyarakat tertinggal. Prioritaskan juga pengembangan kelompok usaha tani, nelayan, perdagangan, serta usaha mikro untuk melembagakan kegiatan produktif dan meningkatkan pendapatan warga di tingkat kampung. Dari segi infrastruktur dasar, prioritas dapat diberikan pada dukungan pelayan transportasi terpadu, energi, telekomunikasi, serta air bersih dan sanitasi melalui pendekatan kawasan. Prioritas lainnya perlu diadakan pada peningkatan pelayanan posyandu, puskesmas pembantu, puskesmas tingkat distrik, serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam pelayanan poskes tingkat kampung. Peningkatan pelayanan pendidikan dasar terutama untuk memastikan kegiatan belajar dapat berjalan di seluruh wilayah kampung dengan fasilitas dan jumlah guru yang memadai serta perlu menyiapkan pendidikan kejuruan. Affrimative action yang dapat diambil adalah dengan program peningkatan khusus bagi pengembangan kualitas SDM putra putri Papua dan Papua Barat baik di sektor pemerintahan daerah maupun sektor swasta.
Percepatan bidang sosial politik dan budaya dapat dilakukan dengan beberapa usaha. Pertama, pemetaan masalah yang menjadi sumber perbedaan (konflik) antara Pemerintah dan masyarakat Papua baik dari aspek politik maupun pendekatan hukum dan HAM. Kedua, pemetaan dan pendekatan terhadap kelompok-kelompok strategis di dalam masyarakat Papua dalam rangka membangun kesepahaman tentang masalah politik dan budaya antara masyarakat Papua dan pemerintah. Ketiga, merumuskan rencana kebijakan politik yang memperhatikan budaya lokal dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah. Keempat, mempersiapkan mekanisme dan substansi komunikasi konstruktif antara wakil-wakil masyarakat Papua dan pemerintah dalam rangka menyepakati penyelesaian bersama masalah-masalah sosial politik dan sosial budaya dalam kerangka NKRI.
Terdapat program-program yang menjadi kebijakan pendukung percepatan dan pembangunan Papua dan Papua Barat. Program pertama adalah program penguatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengelolaan pertahanan dengan memprioritaskan pada percepatan penyusunan RT/RW, Provinsi, Kabupaten, dan Kota, serta pengelolaan administrasi pertahanan yang terkait dengan hak ulayat. Program berikutnya adalah program peningkatan stabilitas keamanan dan ketertiban terutama di daerah rawan kejahatan dan berpotensi konflik antar kelompok masyarakat. Program lainnya adalah program penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintahan daerah dan penyusunan Perdasi dan Perdasus serta pencegahan dan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat menjadi tanggung jawab Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Tugas dari UP4B ini adalah membantu Presiden dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dukungan yang dimaksud adalah berupa koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi perencanaan program P4B. Koordinasi dan sinkronisasi juga dilakukan pada pendanaan program P4B. Seain itu, perlu juga pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program P4B serta peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah dan peningkatan komunikasi konstruktif. UP4B memiliki kewenangan dalam melaksanakan koordinasi dengan menteri, pimpinan LNK, lembaga lain, dan kepala pemerintahan daerah dalam merencanakan rencana aksi. Kewenangan lainnya adalah mendapatkan informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya dari kementerian, LNK, pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya. Kemudian UP4B juga berwenang memonitor, menyarankan penyelarasan program dan kegiatan serta memperbaiki kinerja pelaksanaan kegiatan terkait dengan upaya UP4B. Memberikan alternatif solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam penetapan program dan kegiatan antara rencana kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
UP4B bekerja dengan visi mewujudkan masyarakat Papua dan Papua Barat yang bermartabat dan bangga menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut, UP4B membawa misi melaksanakan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat untuk mengembalikan public trust, meletakkan landasan pembangunan yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, memberikanrekognisi dan pemihakan kepada masyarakat Papua dan Papua Barat dalam rangka optimalisasi keberhasilan UU Otsus Papua.
Konsep yang dikembangkan oleh UP4B adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua dan Papua Barat dengan mendorong dan memastikan percepatan pembangunan yang mengutamakan pendekatan kesejahteraan baik melalui pembangunan di bidang sosial ekonomi maupun sosial politik dan budaya secara serasi dan seimbang dengan memproritaskan wilayah pegunungan tengah dan daerah terisolir lainnya. Pendekatan pembangunan dibidang sosial ekonomi dilaksanakan dengan mengkoordinasikan, mensinergiskan, mendorong dan memastikasn serta mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan baik APBN dan APBD serta program quick wins, serta mendoron, mengkoordinasi dan memfasilitasi program pembangunan inisiatif yang melibatkan masyarakat Indonesia khususnya di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan di distrik-distrik terpilih kawasan pegunungan tengah dan daerah terisolir lainnya. Pendekatan pembangunan di bidang sosial politik dan budaya diutamakan untuk menumbuhkembangkan dialog yang konstruktif dengan seluruh komponen masyarakat dalam rangka membangun ownership masyarakat baik dalam konteks NKRI maupun masyarakat bangsa Indonesia.

Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya, UP4B memiliki prioritas di masing-masing aspek kehidupan masyarakat Papua dan Papua Barat. Dalam tata kelola pemerintahan, prioriatas diberikan untuk mendorong dan memastikan good governance dapat dijalankan. Dalam pembangunan infrastruktur, diprioritaskan mendorong dan memastikan bahwa program pembangunan infrastruktur dasar dan jalan di wilayah Asmat untuk membuka wilayah tengah dapat berjalan. Dalam program pemihakan, mendorong dan memastikanaffirmative action dapat berjalan baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Dalam bidang hukum dan HAM, mendorong dan memastikan penghormatan dan penegakkan HAM dapat dilaksanakan, korupsi dapat dicegah dan diserahkan kepada pihak yang berwenang. Dalam bidang pendidikan, mendorong dan memastikan program pendidikan dasar berjalan di tingkat kampung dan pendidikan menengah berjalan di tingkat distrik. Dalam bidang kesehatan, mendorong dan memastikan program pelayanan Pos Kesehatan Kampung, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas di tingkat distrik dapat berjalan. Dalam bidang politik, memastikan implementasi UU No. 21 Tahun 2001 termasuk terwujudnya Perdasus dan Perdasi; format komunikasi konstruktif terbenutk dan menghasilkan komitmen bersama dalam membangun Papua dan Papua Barat. Dalam bidang ekonomi, mendorong dan memastikan bahwa relasi-relasi sosial masyarakat dapat berfungsi dan berjalan dengan bail. Dalam bidang budaya, mendorong dan memastikan penghormatan terhadap hak ulayat dan hukum adat dalam kehidupan bermasyarakat di Papua. Dalam bidang keamanan, mendorong dan memastikan pengelolaan kamtibmas di Papua berjalan proporsional.