ad

Minggu, 23 Desember 2012

ISTANA BATU



 Mentari baru saja keluar dari peraduannya. Tak biasanya, sepagi ini masih banyak orang kumpul-kumpul di rumahku. Yang sudah-sudah berlalu, kalau malamnya karib-karibku pesta ciu dan main kartu dengan cuk seratus dua ratus perak, pagi begini sudah pasti rumahku lengang tanpa lalu-lalang orang-orang.
 Tapi, pagi ini karib-karibku masih saja asyik banting kartu. Bahkan, Dik Reso –yang selama ini membenciku setengah mati—tampak ikhlas membacakan Yaasiin di samping jasadku yang diselimuti sutera batik. Yaasiin atau entah apa namanya, membuat tulang-tulangku serasa menjadi arang. Inikah ganjaran Dik Reso buatku? Entah!
 Beberapa anak muda sibuk mencari papan tulis. Dan, papan berwarna hitam-putih berukuran 80x70 sentimerter persegi akhirnya itu ditemukan di rumah Purwo, anakku yang tertua yang sekarang jadi guru SMA. Lalu, kabarkan:
 Lelayu
Telah meninggal dunia dengan tenang pada hari Senin Pahing pukul 19.30 WIB:
Nama  : Dipodisastro
Umur : 84 tahun
Alamat         : Jalan Perkutut Nomor 13
Dimakamkan : Pekuburan Manding pada hari Selasa Pon pukul 13.00 WIB
 Lantas, anak-anak muda sepantaran cucu-cucuku itu membawanya ke ujung jalan. Dipasanglah di bawah regol kemudian dikibari bendera warna merah yang terbuat dari kertas minyak. Sebuah kematian anak manusia baru saja  berlangsung.
 Sebagian anak muda yang lain mencari sewa pengeras suara dan kaset alunan ayat-ayat suci. Tak ada kesulitan, memang, mereka mendapatkannya di persewaan terbaik di kota ini. Menjelang jam tujuh, gema ayat-ayat suci dari qori nasional merasuk ke sudut-sudut Jalan Perkutut, Kampung Tjantel Kulon. Bahkan, sempat menusuk dinding-dinding tapal batas empat kampung yang bersinggungan dengan Kampung Tjantel Kulon. Kabar tentang sebuah kematian anak manusia terus mengembara mengikuti arah kumandang ayat suci.
 Sisa kebesaran namaku di masa lampau masih begitu terasa pagi ini. Warga kampung tumplek di rumahku. Di tahun-tahun 1950-an sampai 1960-an rasanya semut pun mengenal siapa Mas Dipo. Begitu terkenal dan kuasa, sampai aku mengoleksi tiga isteri di sepanjang Jalan Perkutut, tak ada yang berani memprotes.
 Ya, di tahun-tahun itu aku sangat digandrungi banyak perempuan. Pilihanku jatuh pada Jeng Tuti. Dia lah isteriku yang pertama yang sekaligus memberiku lima anak: Purwo, Pramono, Purwanti, Priyanti dan Priyono.
 Hanya beberapa hari setelah Purwanti lahir, aku kepincut isteri bawahanku di kantor kawedanan. Jeng Mirah namanya. Tak perlu repot-repot buat mengawini Jeng Mirah. Dia bisa menghidupi diri dan anaknya dari usaha wedhel. Soal menyingkirkan suaminya, cukup kumutasikan saja ke desa yang lebih terpencil. Dari Jeng Mirah, aku mendapatkan seorang anak lelaki yang kemudian menjadi seorang wedono di sebuah kawedanan di pinggiran Bengawan Solo.
 Ya, bukan Dipodisastro kalau ndak bisa menaklukkan hati wanita. Di pertengahan 1960-an, saat-saat bungsuku Priyono mau lahir, aku mempersunting Jeng Ragil Kuning. Peminanganku pada Jeng Ragil Kuning tidak menemui hambatan sama sekali meski ia menjadi isteri sah Dik Reso.
 Aku tahu, Dik Reso adalah seorang guru ngaji. Karena pergaulannya yang luas, waktu itu, Dik Reso sangat dekat dengan sejumlah elit partai berlambang palu arit. Rasanya, itulah celah untuk merebut Jeng Ragil Kuning dari tangan Dik Reso.
 Aku tahu, Dik Reso adalah santri taat. Bukan abangan seperti aku. Dia tidak rela Ramelan, sahabatnya yang anak Haji Fathoni, memilih jalan hidup dengan prinsip sama rata sama rasa. Makanya, Dik Reso kerap terlibat baku bincang dengan Ramelan. Tak jarang baku bincang itu berlangsung di sekretariat daerah partai dengan pendukung dari berbagai kalangan itu.
 Dan, memang, sementara aku sangat dekat dengan intel-intel tentara. Maka, kuberikan informasi bahwa Dik Reso ‘menjadi’ antek partai yang kemudian  diberangus oleh orde yang berkuasa setelah peristiwa memilukan pertengahan 1960-an itu. Dik Reso harus menghabiskan sebagian umurnya di Pulau Buru.
 Beberapa hari setelah Dik Reso dibui, tanpa lewat meja hijau, aku langsung mengawini Jeng Ragil Kuning. Pun aku ndak perlu repot-repot menafkahi isteriku yang ketiga ini. Aku cukup beri nafkah batin. Nafkah lahir, dia bisa mencari sendiri. Jeng Ragil Kuning terampil menari tarian-tarian Jawa Klasik.
 Sudah sangat lama aku memendam rasa ingin memiliki Jeng Ragil Kuning. Apalagi, sejak pandangan pertama di rumah RM Dipotaruno, kakakku yang tinggal di Kota Bengawan. Waktu itu, awal tahun 1960-an, Mas Dipotaruno lagi mantu dan nanggap klenengan lengkap dengan penari Jawa Klasik Jeng Ragil Kuning.
 Aku jadi menyesal. Ternyata Dik Reso benar-benar santri taat. Laku-lagaknya senantiasa diwarnai rasa ikhlas. Kedekatannya dengan Ramelan semata lantaran dia ingin sahabatnya itu kembali ke keyakinan ketika keduanya masih sama-sama belajar di Langgar Abu Thohir. Karena gelegak petualangan asmaraku, aku tak ambil peduli. Pokoknya, siapapun yang dekat-dekat dengan pentolan partai berlambang palu arit harus dibabat tanpa ampun. Dan, ini kesempatan emas buat merusak pagar ayu suami-isteri Dik Reso – Ragil Kuning.
 ***
 Bayang mentari kian pendek saja. Bungsuku Priyono sudah datang dari Jakarta setelah semalam ditelepon Purwo. Pramono, anakku yang jadi kadaster di Kantor Agraria, bergegas ke tukang terbelo terbaik di kota ini. Sesuai dengan wasiat yang kutitipkan padanya beberapa waktu sebelum aku sakit berkepanjangan.
 Dulu, kala aku masih sehat, aku memesan terbelo khusus dan kijing spesial di UD Setro Gondo Mayit. Terbelo berbahan kayu jati kelas satu. Diukir dengan gambar Janoko di tutup bagian atas. Keempat sisi samping diukir dengan motif lurik. Pelapis luarnya adalah kain sutera terbagus bikinan pabrik batik terkondang di Kota Bengawan.
 Pun soal kijing. Aku minta dari bahan marmer paling bagus dari Tulung Agung. Dilengkapi pula papan nama yang menerangkan kepriyayianku. Ukurannya kuminta yang agak besar, di atas rata-rata yang ada.
 Sekira lima tahun silam, sebelum malaikat maut menjemputku semalam, aku minta Pramono membebaskan setengah hektar pekuburan Manding. Dengan titik pusat pusara Jengg Ragil Kuning dan Jeng Mirah. Di antara kedua pusara sudah tersiap kapling buat aku dan Jeng Tuti. Dengan kekuatannya sebagai ambtenaar, Pramono berhasil membebaskan kapling itu dari jasad-jasad yang bukan kerabat trah Dipodisastro. Mulai saat itu, kuminta Pramono membangun pagar keliling setinggi satu meter. Empat pusara –Jeng Ragil Kuning, Jeng Mirah, Jeng Tuti dan aku—berhadapan langsung ke pintu gerbang. Antara empat pusara dan pintu gerbang, kuminta dibuatkan papan silsilah trah Dipodisastro, mulai dari anak, cucu, buyut, canggah, wareng sampai udheg-udheg siwur. Terbikin dari marmer kelas wahid. Ditambah lagi dengan pendopo kecil-kecilan buat berteduh sesaat sebelum anak-cucu nyekar tiap Ruwah.
 Kuberangan, istana peristirahatan nan elok. Cermin kebesaran siapa yang istirahat di sana. Keberangan pula, istana ini bisa menjadi tujuan wisata kelak. Wisata ziarah. Kecil-kecilan saja, tak sebesar milik Pak Harto di Mangadeg. Dan lagi, aku tak mungkin menandingi Pak Harto dalam soal membebaskan tanah kuburan. Pramono cuma kadaster di Kantor Agraria lokal kabupaten, mana mungkin mampu membebaskan sebuah lereng gunung.
 Yang pasti, sesuai dengan kepriyayianku, cukuplah bisa mencaplok setengah hektar pekuburan Manding. Anganku menyiapkan tempat tinggal setelah mati kesampaian sudah.
***
 Sang surya tegak lurus di atas ubun-ubun. Pelayat makin menyemut smpai ujung jalan di bawah regol. Kereta jenazah dari tempat penyewaan termahal di kota ini sudah tiba di halaman rumahku. Di ruang tamu, beberapa orang –termasuk Dik Reso—masih sibuk mengkafani jasadku. Agak lama memang, karena jas, blangkon dan kain kebesaran Jawa-ku harus terlebih dulu dipakaikan. Keris kesayanganku pun mesti diselipkan di pinggang. Usai semua itu, Dik Reso seorang menshalatkan jenazahku. Terbelo ditutup, dipaku kuat-kuat. Dik Reso dan para tetangga lalu mengusung keluar. Anak-cucuku sudah menunggu di sana. Prosesi brobosan berlangsung. Jeng Tuti, yang tak kuat lagi berjalan, tampak berkursi roda didorong Priyanti di belakangnya.
 Adzan dikumandangkan lewat pengeras suara sewaan. Aku pun masuk kereta berlapis keemasan itu. Perjalanan ke Pekuburan Manding dimulai. Kira-kira setengah jam, aku telah sampai di atas liang yang disiapkan Sutris –teman Priyono semasa SD dan kawan-kawan. Pajang-lebar kapling disesuaikan dengan terbelo yang terkesan agak besar dibanding badanku yang cenderung ceking. Tiap-tiap sisi berjarak 25 sentimeter ke terbelo.
 Sutris dan seorang kawannya berada di dalam liang kubur. Dik Reso, Purwo dan Pramono bersiap menurunkan terbelo.
 “Tris, pelan-pelan terima ya,” pinta Pramono.
 “Yah, Mas! Nggak bisa masuk,” ucap Sutris dalam nada salah.
 “Tris, kamu nggak salah ukur. Kok bisa kurang.”
 “Nggak Mas, malah sudah saya lebihkan 30 senti di semua pinggiran.”
 “Kalau begitu kamu naik lagi, lebarkan 50 senti lagi.”
 Sutris dan kawan-kawan kembali menggali dengan mencocokkan ukuran terbelo yang sekarang ada di samping liang lahat: “Sudah Mas, masa saya sampai salah ukur.”
 “Tris, terima ya,” pinta Pramono.
 “Lho Mas, nggak bisa masuk lagi!”
 “Sudah kamu naik kembali, lebarkan satu meter sekalian,” kata Pramono sedikit tegang.
 “Mas, kiri-kanan ini kan sudah ada kuburan ister-isteri muda Pak Dipo,” Sutris tersadar.
 “Oke, kalau begitu lebarkan selebar-lebarnya. Pokoknya melebihi ukuran terbelo,” Pramono setengah patah arang.
 Cras, cras, cras, slaap! Sutris mengayunkan paculnya. Sampai-sampai menyenggol, maaf, tengkorak Jeng Ragil Kuning. “Hati-hati Tris,” Pramono ingatkan. Liang kubur 2,5 x 2 meter persegi pun tergali.
 “Ayo Tris, Pak Dipo kita turunkan lagi,” ajak Pramono.
 Lagi-lagi terbelo-ku tak bisa masuk liang kubur. Mengapa begini? Rasanya seumur-umur aku tak pernah menyerobot tanah tetangga, main manipulasi tanah atau menggeser keluar batas kaplig pekarangan.
 “Bagaimana Pak Reso, mesti diapakan jenazah Pak Dipo?”ujar Pramono putus asa.
 “Begini Nak, terbelo kita bongkar, tinggal jasad berkafan putih yang masuk,” Dik Reso menawarkan jalan keluar.
 Aduh, terbelo kesayanganku remuk redam. Tak berarti lagi apa itu kain sutera, ukiran Janoko dan dinding-dinding lurik. Para pelayat termangu, saling baku bisik. Baru kali ini sepertinya mereka menyaksikan prosesi pekuburan macam ini.
 Sembari membaca ayat suci dan dibantu Pramono, Dik Reso berusaha menurunkan jasadku. Apa lacur, tanah yang sudah dibebaskan Pramono beberapa tahun silam itu tetap tak mau menerima jasadku. “Kalau begitu kita kubur berdiri saja,” spontan Dik Reso berucap.
 Haaaah! Jasadku masuk berdiri? Disusul papan-papan terbelo dan kain sutera yang sudah berubah warna tanah.
 Kraaak … kraaak … kraak! Istanaku melumat tulang-belulangku, keris pengasihanku, terbelo jati kesayanganku, harga diri lima anakku, dan tangis lima belas cucu-cucuku.
                                                                    Bekasi-Sragen, awal 2003

________
ciu  : minuman beralkohol tradisional.
cuk : setoran sukarela seorang pemain judi kartu yang memenangkan satu putaran main.
regol : gapura
wedhel : usaha mewarnai kain dengan ramuan warna tradisional Jawa.
kawedanan : satu wilayah administratif yang membawahi beberapa kecamatan yang dikepalai oleh seorang wedono.
klenengan : orkestra dengan gamelan Jawa.
terbelo : peti mati.
kijing : nisan kuburan.
nyekar : ziarah kubur.
Ruwah : bulan dalam almanak Jawa sebelum bulan Puasa.
Brobosan : tradisi kerabat melewati bawah peti jenazah yang akan diusung ke kuburan.

Benteng Pendem Cilacap


Kalau ada orang bertanya, tempat apa yang menarik untuk dikunjungi ketika berkunjung ke Cilacap selain Nusakambangan danTeluk Penyu ? kita harus mengunjungi Benteng Pendem. Benteng yang terletak di salah satu sudut kota Cilacap ini sangatlah menarik untuk dikunjungi.

Hanya bertanya sekali saja ketika memasuki Kota Cilacap kita sudah bisa menemukan lokasi Benteng Pendem yang dalam bahasa Belanda adalah Kusbatterij od de Lantong te Cilacap. Letaknya yang bersebelahan persis dengan Teluk Penyu, membuat hampir semua penduduk disini tahu lokasi benteng ini. Sore itu setelah berkeliling-keliling kota Cilacap, kami mencoba berspekulasi untuk ke Benteng Pendem apakah masih buka atau tidak. Ternyata ketika kami sampai disana hampir jam empat sore, masih terlihat petugas dan mengatakan kalau waktu berkunjung sampai dengan jam enam sore. Aduh senangnya kami semua....

Benteng yang dibangun oleh Belanda antara tahun 1861-1879 M ini memilki luas asli sekitar 10.5 hektare. Namun ternyata sejumlah 4 hektare diambil oleh pertamina untuk pembangunan salah satu fasilitasnya di daerah tersebut. Benteng ini sempat terpendam tanah beberapa waktu lamanya, sebelum akhirnya ditemukan pada tahun 1986 dan mulai digali pada tahun 1987. Semenjak itu benteng ini dibuka untuk umum yang ingin berkunjung ke benteng ini.

Karena sore itu langit mendung dan suasana sore yang mulai temaram, membuat suasana khas benteng yang kuno menjadi lebih misterius dan seram. Namun beruntung, sore itu Pak Slamet salah satu petugas benteng masih bersedia mengantar kami. Pak Slamet, salah satu penjaga benteng pun mengantar kami untuk berkeliling-keliling benteng ini. Barak pertama yang kami jumpai adalah barak peristirahatan para pekerja paksa yang dulunya bekerja sepanjang hari dan malam harinya tidur di barak ini. Barak yang berbentuk setengah lingkaran ini memang unik dan indah, karena bentuk kunonya serta disekitar lokasi nampak terawat dengan baik.

Setelah barak peristirahatan masuk ke dalam lagi adalah tempat meriam, dengan lubang-lubang meriamnya ke arah laut siap untuk menyerang musuh yang datang. Sedangkan meriam-meriamnya sendiri sudah tidak ada. Diseberang tempat meriam adalah ruang klinik, adalah ruang pengobatan buat para pekerja yang mengalami sakit.
Masih searah dengan dengan ruang klinik adalah ruang dapur dan ruang penjara. Keunikan lain dari benteng ini adalah, dulunya kapal bisa langsung masuk ke dalam benteng ini, terbukti dengan adanya sungai buatan yang langsung tembus ke laut lepas. Menarik sekali menikmati salah satu ikon wisata Kota Cilacap, yaitu Benteng Pendem.

(sumber: AMGD/mlancong.com)

Sabtu, 22 Desember 2012

Kajian Sistem Manajemen Pengamanan


SUCOFINDO memberikan gambaran tentang kondisi ancaman beserta solusi menyeluruh atas pengamanan perusahaan anda.

TANTANGAN BISNIS

Keberlangsungan usaha dan keamanan dalam berusaha merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Karenanya, perusahaan dituntut untuk dapat melakukan pengamanan secara sisematis agar tetap dapat mendukung terlaksananya kegiatan produksi secara optimal. 

Salah satu aspek penting dalam pelaksanan sistem pengamanan adalah standarisasi infrastruktur sesuai dengan kondisi ancaman dan gangguan di tempat kerja. Desain infrastruktur yang sesuai dengan kondisi setempat merupakan prasyarat terciptanya keadaan tempat kerja yang aman.

SOLUSI

Ruang Lingkup Pekerjaan

Dalam upaya pengelolaan sistem pengamanan yang efektif, perlu dilakukan penilaian komprehensif tentang potensi ancaman dan gangguan terhadap proses bisnis. Penilaian dapat dilakukan dengan mengkaji Rencana Induk Sistem Manajemen Pengamanan Terpadu, yang melingkupi aspek manajemen, infrastruktur dan lingkungan.

Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk menghasilkan rencana induk pola pengamanan dalam kegiatan perusahaan dengan mengacu pada standar pengamanan nasional maupun internasional.

Pelaksanaan

Tahapan dalam kajian Sistem Manajemen Pengamanan:
  1. Identifikasi Proses Bisnis  
    Yaitu mengidentifikasi tingkat kepentingan dari setiap kegiatan yang ada dalam mendukung keberlangsungan bisnis. Kegiatan ini dilakukan dengan cara melihat proses kegiatan utama dan pendukung secara keseluruhan, termasuk kegiatan yang melibatkan subkontraktor dan struktur organisasinya.
  2. Penilaian Kerawanan Aset
    Yaitu melakukan kalkulasi risiko ancaman terhadap aset-aset penting sesuai fungsi dan nilainya.
  3. Metode penilaiannya meliputi:
    1. Identifikasi karakteristik aset
    2. Penilaian ancaman
    3. Analisa ancaman
    4. Penilaian risiko
    5. Analisis pengendalian
    6. Analisis Dampak Bis
Identifikasi karakteristik asetYaitu mengidentifikasi seberapa cepat kegiatan-kegiatan dalam proses bisnis penting bisa recovery setelah kondisi darurat. Analisis ini akan menggambarkan bagaimana kemampuan perusahaan untuk tetap menjalankan proses bisnis penting setelah terjadi kondisi darurat.
Penilaian Ancaman EksternalYaitu kegiatan survey untuk mengidentifikasi dan menilai tingkat ancaman dari luar yang berpotensi menjadi gangguan.
Penilaian Terhadap Sistem Pengelolaan Pengamanan
Kegiatan ini dilakukan untuk menilai kesesuaian dan efektifitas model pengelolaan pengamanan yang sudah dilakukan terhadap acuan standar Peraturan Kapolri 24/2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan.
Penilaian Infrastruktur Pengamanan
Kegiatan ini dilakukan untuk menilai untuk melihat memadai tidaknya infrastruktur yang telah ada sesuai dengan hasil tahapan penilaian sebelumnya.
Kajian Master Plan Pengamanan
Yaitu mengkompilasi dan menganalisa hasil tahapan kegiatan di atas, dan merumusan rekomendasi model pengelolaan pengamanan terpadu yang sesuai dengan kondisi ancaman dari bisnis perusahaan.

Perang Tiang Listrik


Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh perilaku seorang anak muda bersepeda dengan membawa seember lem dan 300-an lembar selebaran promosi sedot WC. Dia berhenti di tiang listrik yang ada di pojok kanan depan rumahku. Spontan, dia mengeluarkan kuas yang telah dicelupkan ke dalam seember lem lalu disapukan ke beberapa selebaran promosi sedot WC yang sudah terlebih dulu tertempel di tiang listrik. Lalu, selebaran promosi sedot WC yang lama itu berganti wajah dengan selebaran promosi sedot WC yang baru.
Eh, Bang, memangnya yang ente tutup itu dari Bos yang sama? tanyaku ingin tahu.
Ooo, tidak Pak. Saya cuma menjalankan perintah Bos aja, ujar si anak muda.
Perintah Bos bagaimana? aku kembali bertanya.
Ya, saya dibayar Rp60.000 untuk menempelkan sekitar 300-an lembar selebaran promosi ini dan langsung ditempelkan menutupi selebaran sejenis yang telah ada. Kalau nggak ada perintah, mana berani saya, Pak, ucapnya.
Aku sedikit terkaget. Memang sah-sah saja bila yang ditutupi dengan selebaran baru oleh si anak muda tadi selebaran promosi sedot WC dari perusahaan yang sama. Yang terjadi, berbeda perusahaan (Bos) namun skala wilayah usahanya relatif sama, yakni seputaran Bekasi. Si anak muda itu mengaku kadang dirinya dikejar-kejar oleh orang, yang entah dari mana arah datangnya, sampai terengah-engah. Bersyukur dia tidak sampai bonyok dikeroyok oleh orang yang konon kabarnya sebagai orang suruhan perusahaan sedot WC pesaing.
Dalam nada yang enteng, si anak muda itu bercerita kerapkali kali bosnya sampai bertengkar dengan sesama bos sedot WC. Bahkan, katanya lebih lanjut, banyak pula perusahaan-perusahaan sedot WC yang gulung tikar gara-gara kalah kuat modal untuk menutupi selebaran promosi di tiang listrik.
Ada upaya saling mematikan dalam perang promosi di tiang listrik. Kadang ada yang berani membayar Rp80 ribu untuk menghabiskan seember lem dan 400-an selebaran promosi sedot WC. Tak peduli siapapun sang pesaing. Sirna sudah etika promosi yang mesti dijunjung tinggi dalam dunia bisnis. Yang penting, Nomor perusahaan sedot WC saya dilihat oleh siapa saja yang menatap tiang listrik.Di kalangan mereka berlaku prinsip hari ini menutup selebaran pesaing, besok ditutup pesaing, lusa pesaing saya tutup kembali, ... ayo adu kuat dana buat mengelem tiang listrik.
Boleh jadi persaingan tidak sehat model perang tiang listrik perusahaan sedot WC ini tidak hanya menjangkiti pelaku-pelaku usaha kelas bawah semacam usaha sedot WC. Di tingkat pelaku usaha kelas atas, permainan yang kerap terjadi adalah bagaimana adu kuat memberikan insentif kepada pemilik proyek dan atau tender, membuat perusahaan fiktif ikut lelang tender, sampai berpromosi di media massa untuk sekadar memenuhi persyaratan formalitas. Sungguh bengis yang bikin miris! *BN  

Logika Pesugihan Gunung Kawi


Sebagaimana dataran tinggi di tempat-tempat lain, Gunung Kawi pun menawarkan keindahan panorama pegunungan asri dengan udara yang menyegarkan. Lebih dari itu, Gunung Kawi ternyata memiliki magnet lain yang sangat kuat sebagai daya tarik. Karena bagi sebagian orang, Gunung Kawi adalah salah satu tujuan wisata religius sekaligus simbol kemakmuran.
Memiliki ketinggian 2.860 meter di atas permukaan laut, Gunung Kawi nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Gunung yang oleh warga Jawa Timur kerap dicitrakan sebagai tempat pesugihan itu bagi kalangan Kejawen, penggiat budaya Jawa, Gunung Kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual Kejawen diadakan di sini secara teratur dan diikuti aktivis budaya Jawa di seluruh Pulau Jawa.
Di Gunung Kawi terdapat makam dua tokoh Kejawen: RM Imam Soedjono (wafat 8 Februari 1876) dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego (wafat 22 Januari 1871). Keterangan tertulis di prasasti depan makam menyebutkan, Mbah Djoego ini buyut dari Susuhanan Pakubuwono I (yang memerintah Kraton Kartosuro 1705-1717). Sedangkan RM Imam Soedjono buyut dari Sultan Hamengku Buwono I (memerintah Kraton Yogyakarta pada 1755-1892). Konon, keduanya merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang berhasil selamat dari peperangan melawan kompeni Belanda, dan kemudian menetap di lereng Gunung Kawi hingga akhir hayatnya.
Jadi, kedua tokoh ini orang Islam, dimakamkan secara Islam serta adat keraton. Makam keduanya berdampingan di gedung utama. Ada larangan keras untuk memotret atau mengambil gambar saat kita masuk kompleks ziarah utama ini. Para pekerja, semua berbusana adat Jawa, mengawasi semua pengunjung dengan keramahan yang khas.
Memasuki kawasan pesarean, pengunjung disambut gapura selamat datang Pendopo Pesarean Agung berbentuk seperti candi lengkap dengan aksara Jawa di bagian atasnya. Bagian depan dinding gapura kanan-kiri terdapat lukisan timbul yang mengisahkan aktivitas Eyang Djoego dan Eyang Soedjo semasa hayat, lengkap dengan tahun keberadaan mereka, tahun 1871.
Yang cukup menarik, masih di gerbang pesarean, pengelola memasang papan pengumuman berisi jadwal kunjungan. Ada empat jadwal kunjungan, yakni pagi, siang, malam, dan tengah malam. Jadwal kunjungan pagi dimulai pukul 08.00, siang 14.00, dan malam 19.00. Sementara jadwal berkunjung dan berkeliling pesarean tengah malam dibatasi hanya satu jam dari pukul 24.00.
Selain ziarah di makam kedua bangsawan Yogyakarta itu, di kawasan pesarean terdapat pula Kelenteng Dewi Kwan Im dan kediaman Tan Kie Lam. Lilin-lilin merah, besar, terus bernyala. Puluhan warga Tionghoa secara bergantian berdoa di sana. Juga ada ciamsi --metode meramal nasib a la Tiongkok kuno. Mpek Lam (sapaan Tan Kie Lam) adalah warga Tionghoa yang merupakan murid kesayangan Eyang Soedjo. Itu sebabnya, meski Mpek Lam telah lama meninggal dunia, kawasan Pesarean Gunung Kawi --terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Mpek Lam-- menjadi tempat tujuan warga keturunan Tionghoa. Bahkan, kehadiran mereka sampai sekarang sangat dominan dibanding etnis-etnis yang lain. Pluralitas umat beragama ini terlihat cukup harmonis. Ini bisa terlihat pada harmoni letak Masjid Imam Soedjono yang berdiri tak jauh dari Kuil Kwan Im.
Selain lokasinya yang dekat dengan masjid, keberadaan kuil itu tampak mencolok dengan lilin raksasa sebagai simbol dari Ti Kong. Lilin jumbo itu tampak mewah berada di lantai kuil berbahan batu granit. Yang paling menarik dari kuil itu adalah patung Dewi Kwan Im berwarna emas berbahan dasar perunggu setinggi delapan meter yang diletakkan di ruang khusus di depan tempat lilin Ti Kong.
Patung seharga Rp2,5 miliar itu sumbangan Liem Hong Sien alias Anthony Salim, putra Liem Sioe Ling alias Sudono Salim, pendiri Salim Grup. Patung Dewi Kwan Im dalam posisi Boddhisattva Avalokitesvara itu didatangkan langsung dari Taiwan pada Oktober 2008 lalu. Untuk mempermudah pengiriman, patung dipotong-potong kemudian dirakit kembali di Gunung Kawi.
Perakitan baru selesai akhir tahun kemarin, ujar Eko, cucu juru kunci Gunung Kawi.
Logika Pesugihan
Setiap hari kediaman Mpek Lam dan Kuil Dewi Kwan Im nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah, para pengunjung umumnya mempunyai satu tujuan, yakni ngalap berkah (mencari kemakmuran). Bahkan, pada hari-hari tertentu jumlah pengunjung bisa berlipat-lipat, mengikuti penanggalan Jawa dan China, misalkan hari Jumat Legi, Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa (bulan Suro). Tentu lengkap dengan ritual-ritual dalam versi masing-masing (Tionghoa dan Jawa).
Pengunjung yang tak pernah sepi di Pesarean Gunung Kawi tampaknya memberi berkah tersendiri bagi warga Wonosari. Kecamatan di sebelah barat Kabupaten Malang itu berkembang pesat. Penginapan dan hotel tumbuh subur di sepanjang jalan menuju pesarean. Tak ketinggalan kios-kios suvenir khas Gunung Kawi. Oleh-oleh kuliner asli adalah telo (ketela) Gunung Kawi. Bentuknya sangat kecil memanjang seperti ibu jari. Berwarna ungu tua. Bila dimasak terutama dengan cara dikukus, rasanya sangat manis seperti madu.
Dan, aliran Kejawen yang berkait erat dengan ritual selamatan tampaknya juga menjadi ladang bisnis tersendiri. Pengunjung tidak perlu repot-repot menyiapkan aneka masakan dan sesaji ubo rumpe seperti cok bakal, pisang raja, dan kelapa muda untuk keperluan selamatan, karena di sana ada loket pemesanan tumpeng dan perlengkapan selamatan, lengkap dengan jadwal selamatan.
Menu selamatan, harganya bervariasi mulai dari Rp35.000 sampai Rp550.000, dan tumpeng ayam Rp 110.000. Harga barang dan keperluan nazar juga bervariasi, mulai dari satu kotak minyak tanah Rp70.000, seekor sapi Rp10 juta, hingga menanggap wayang Rp5 juta.
Suatu waktu, tepatnya tanggal 12 Suro atau 9 Januari 2009 lalu, warga Wonosari memperingati haul (hari meninggalnya) Eyang Soedjo. Saat ngalap berkah, para peziarah galibnya menjalani ritual tertentu yang mereka yakini. Setelah itu mereka mencari tempat di sekitar kawasan Pesarean Gunung Kawi untuk menyepi. Yang paling menarik adalah berjibunnya pengunjung duduk di bawah pohon dewandaru. Konon katanya, kalau sampai kepala kejatuhan daun dewandaru, keinginan bisa terwujud.
Masuk akalkah? Salah seorang anak muda asal Gunung Kawi Asli dulu sering merasa kurang sreg atas pandangan pesugihan (ngalap berkah, mencari kemakmuran) Gunung Kawi. Bersama lima orang temannya dari Kepanjen dan Slorok, dia melakukan penelitian kecil tentang mitologi dan pengaruh sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Kebetulan mereka bertemu dan bergabung dengan dua mahasiswi (Antropologi dan Sosiologi) asal Australia dan Jerman yang juga melakukan penelitian yang sama.
Logika pesugihan yang mereka simpulkan begini: Yang datang ke sana kebanyakan orang etnis Tionghoa yang ingin mengembangkan usahanya dan juga mereka yang merasa telah berhasil usaha yang ditempuhnya. Dalam pertemuan inilah terjadi transaksi secara tidak disengaja yang kemudian mereka saling menjadi rekan bisnis yang penting.
Ringkasnya, si anak muda itu mengilustrasikan: Ayen Si Bakul roti ambil plastik dari Ko Jang, tepung dari yuk Liek, Sementara Liong Shen yang di usaha distribusi menjadi agen penting bagi Ayen. Sebab-akibat inilah yang membuat mereka makin sugih. Apalagi bila kerjasamanya dalam kualitas dan kapasitas yang lebih besar.
Logika inilah yang harus diluruskan agar warga masyarakat tidak semakin terbenam dalam mimpi-mimpi yang menghanyutkan dan menjerumuskan. Bahkan, menyesatkan dua-akherat. (dari beberapa sumber)

“Eh, Pak Raden ...”


fiksi budi nugroho

Aku selalu, selalu dan selalu takut meliihat, melewati apalagi menginjakkan kaki di dalamnya. Bayangan bakal diperas, ditipu, dicari-cari lobang kesalahan senantiasa menusuk-nusuk benakku. Entah siang entah malam, senggang atau tegang, terbebat atau terbebas. Aku tidak tahu sejak kapan rasa takut ini mengkristal dalam benakku..
Aku masih ingat nasihat seorang akwan, untuk menghilangkan rasa takut itu gampang: jangan mencebur atau melakukan hal yang menjadi sebab-musabah rasa takut. Sungguh mudah diucap. Dalam langkah, entah.
Sungguh! Kali ini aku betul-betul sulit menghindari sebab-musabab rasa takut itu, aku mesti menginjakkan kaki. Hari ini.  Bukan besok, lusa atau pekan depan. Bulan depan, bukan.
Aku demikian gamang. Tapi, bagaimana lagi. Kendati gundah, kaki harus melangkah tanpa rasa jengah. Bingung pun segera menyergapku. Melangkah, tidak. Masuk, tidak, masuk, tidak. Padahal, tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua beres, tiada yang laik dirisaukan.
Aku lihat bangunan berlantai dua di urat nadi kota ini. Di antara bangunan-bangunan perkantoran dan mal yang berjajar di sana, ia tampak paling sederhana. Tapi, keramaiannya saban hari kerap melebihi mal di bulan bermula. Lapangan parkir penuh mobil dan motor. Lalu-lalang orang, kebanyakan lelaku, tiada henti sejak sang mentari sepenggalah naik sampai tergelincir melewati tinggi badan anak manusia.
Aku tatap bangunan berlantai dua di urat nadi kota ini. Di antara jejer-jejeran kotak beton menjulang, ia bagai si miskin yang angkuh. Ia tidak butuh bersolek, toh orang-orang berkerumun ibarat semut bertemu gula. Ia tak perlu memberi rasa aman dan nyaman, toh semua warga tetap mengakrabinya. Akrab yang dipaksakan, yeah! Jangan cari rasa aman dan nyaman di sini, bau keringat bercampur asap knalpot adalah hal lumrah.
***
Hari ini, aku mesti masuk, bukan sekadar melihat dan menatap. Cemas, was-was. Keringat dingin keluar satu per satu dari jutaan pori-pori di sekujur tubuhku. Gemetar. Bayang bakal diperas, ditipu, dicari-cari lobang kesalahan menyelinap dalam benakku. Entah dengan cara apa aku mesti menghempangnya.
Panas sang mentari masih suam-suam kuku. Bayang itu tiba-tiba sirna. Yang lantas muncul adalah sosok Joni. Yang tidak lain adalah tetangga satu lingkungan RT tempat tinggalku. Yang tak lain adalah tetangga yang biasa jadi pasangan main gaple buat mengusir rasa kantuk saat giliran jaga ronda.
Gara-gara aku kurang gaul ataukah lantaran kami saling menyembunyikan identitas profesi masing-masing, entahlah! Aku agak terkaget-kaget bersua Joni di halaman kantor ini. Mengapa Joni tidak pernah bercerita kalau dirinya bekerja di kantor ini? Adakah rasa takut menggelayut untuk diminta tolong para tetangga. Sekadar tolong, memang, kadang cuma sukarela, tidak mengikat, pun tidak menambah pundi-pundi kekayaan materi. Paling-paling tambah pertemanan dan sedikit amal. Itupun bila didasarkan rasa ikhlas.
Setelah sedikit basa-basi, Joni berlalu ke ruang kerjanya di lantai dua. Aku, aku berjalan pula ke lantai dua, ke salah satu loket pelayanan. Tak kupikirkan di sudut mana ruang kerja Joni. Aku ke sini hanya ingin memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang memiliki sebuah sepeda motor butut keluaran tahun 1983.
Aku berjalan dari loket ke lokat. Ambil kertas isian berganda. Isi, tulis keterangan-keterangan. Tunggu prosesi. Di sini aku tersandung. Coretan tanda-tanganku sedikit agak berbeda tekanan dan ukuran antara di kertas isian dan kartu identitas penduduk.
Satu kerikil sandungan bertambah. Pada kartu identitas penduduk tertulis namaku: Rd. Bagus Paiman, sedangkan di surat kepemilikan motor tertera: R. Bagus Paiman. Aku tak mengapa sampai terjadi keberbedaan ini. Penjaga loket pelayanan cuma memberi alasan, “Pak Joni ndak mau tanda tangan, Pak. Perlu proses penambahan huruf ‘d’ atau Bapak langsung menghadap ke Pak Joni?”
Proses penambahan huruf ‘d’, haruskah kupenuhi. Anggaranku pasa-pasan pada pos yang satu ini. Tiap bulan aku sudah termehek-mehek mengeluarkan ongkos perawatan motor butut kesayangku.
“Pak Joni, Pak Joni ...Pak Joni..,” gumamku sedikit bersuara. Ya, aku mesti menghadap Pak Joni saja. Masa, masalah begini harus bertele-tele. Sekalian memanjangkan tali silaturrahim di ruang kerjanya. Walau bertetangga, aku jumpa Pak Joni hanya tatkala giliran ronda. Pak Joni berangkay pagi-pagi dan pulang jelang malam. Dan aku keluar sore hari serta tiba kembali di rumah mendekati ujung dinihari.  
“Ok Pak, saya ingin ketemu Pak Joni,” kataku kepada penjaga loket pelayanan. Dan si penjaga mempersilakan.
Rasa takutku telah berlalu beberapa saat. Berganti tanya demi tanya. Beginikah keseharian kantor Joni yang memiliki rumah paling mentereng di RT-ku? Adakah Joni menerima tanda mata proses perbaikan identitas? Jangan-jangan ini sudah menjadi keseharian Joni disini, di kantor ini? Jangan-jangan lagi, ada tanda mata buat proses beda RT, tanda mata pindah alamat, tanda mata ganti nama jalan, tanda mata ganti warna bodi, tanda mata ganti (,), dan tanda mata nambah (.). tanya demi tanya terus memanjang bagai tiada ujung.
Kuketuk pintu ruang kerja bertuliskan: NURJONI ALAM. Oh, ini ya nama lengkap Joni. Kurasa Joni juga tidak tahu namaku secara lengkap. Joni cuma tahu nama panggilanku: Pak Raden.
“Masuk.” Kudengar suara khas serak-serak berat milik Joni. Pelan kuucap salam. Innaa lillahi. Joni terduduk lemas di kursinya, mukanya pucat pasi.
“Eh, Pak Raden ...” suara Joni melemah lalu hilang. Kuraba urat nadinya, berhenti. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Aku linglung dan bingung. Terlebih, aku dalam keterasingan di sini. Jangan-jangan aku akan kena sangkaan menghilangkan nyawa orang lain, sengaja atau tidak sengaja. Aku mencoba bercerita apa yang baru saja kusaksian, kepada anak buah Jonu di luar ruangan. Aku merasa agak tenang karena ada sekretaris pribadi Joni saat aku masuk ruang kerjanya.
Kupinjam telepon pada sekretaris Joni. Kuhubungi isteriku di rumah. Kuminta isteriku mengabarkan perihal kepulangan secara mendadak Joni di kursi singgasananya, kepada isteri Joni.
Lalu, bersama-sama berapa staf, kubawa jasad Joni ke rumah sakit yang kebetulan berada di belakang kantornya. Aku ingin memastikan kepulangan Joni yang tiba-tiba. Dan kuminta secarik kertas yang menerangkan jalan pulang Joni. Ini penting, agar aku tidak ketumpuhan salah.
Dokter yang menerima jasad Joni meyakinkan kalau Joni sudah benar-benar pulang, dengan sebutan klinis: ada bekuan darah tiba-tiba menyerang syaraf ke otak. Tanpa meminta sepeser pun, dokter memberiku surat keterangan kepulangan Joni.
***
Aku mesti membawa jasad Joni untuk disemayamkan di rumahnya yang asri. Tapi, masa aku mesti memboncengkannya pakai motor butut. Rumah sakit merasa kesulitan menyediakan ambulance jenazah. Lima unit ambulance milik rumah sakit sedang berjalan mengambil korban-korban adu jangkrik di jalan tol Jakarta-Cikampek. Sukar dipastikan kapan sampai karena jalan sekitar lokasi kecelakaan adu jangkir total macet. Padahal, Joni yang pulang secara mendadak mesti lekas-lekas diantar ke rumah duka, diurus dan cepat-cepat dibawa ke liang lahat agar tidak menyusahkan hidung orang-orang yang ditinggalkan.
Aku berusaha mencari-cari pinjaman ke orang rumah sakit. Nihil yang bersedia memberikan jasa angkut. Aku usaha lagi ke tetangga-tetangga. Tetap saja nihil hasil. Ada yang yang sedang dipakai ke kantor, buat berbelanja ke pasar, telanjur disewakan, ada pula yang memang tidak mau meminjamkan.
Oh, mengapa begini? Setahuku, dari cerita isteriku di meja makan, Joni termasuk cukup dermawan di mata tetangga-tetangganya. Mobilnya, bilamana tengah nongkrong di garasi, boleh dipinjam siapa saja, apalagi untuk mengantar orang sakit, tanpa meminta uang bensin. Masih cerita isteriku di meja makan, rumah Joni terbuka bagi siapapun yang tengah dirundung nestapa busung perut. Pun tanpa embel-embel uang beras.
Coba-coba aku menyetop mobil yang lewat jalan raya di depan halaman rumah sakit. Sebuah minibus menghampiriku. Kusampaikan maksudku, eh si sopir langsung atncap gas tanpa permisi.
Kulambaikan tangan, sebuah mobil boks barang berhenti. Kuceritakan maksudku. Oh, si sopir langsung putar arahmenjauhiku tiada terucap sepatah kata.
Lalu sebuah mobil bak terbuka, kosong. Stop. Kututurkan keinginan. Dengan mimik ketakutan, si sopir mengunjak pedal gas tunggang langgang.
Oh, apakah yang satu ini pun harus kuminta berhenti? Dari kejauhan sudah tercium aromanya. Bahkan, sepanjang jalan senantiasa mengumbar bau bacin, menjadi pangkal umpatan orang-orang yang berpapasan atau terpaksa mengekorinya.
Yah, daripada semakin menyusahkan. Kulambaikan tangan. Di sopir terkaget-kaget bukan alang kepalang manakal kusampaikan maksud. “Ah, yang bener Pak, masa mau diantar pakai mobil begini?” tanya si sopir penuh keheranan.
“Maaf Bang, aku sudah cari ke mana-mana, tidak ada yang sudi!”
“Ok kalau maunya begitu Pak. Tapi, sebentar Pak, saya ketempat cucian mobil dulu agar tidak terlalu bau. Tadi saya usai mengangkut bangkai-bangkai kucing, tikus dan anjing yang diangkat dari pintu air Manggarai.”
“Tak perlu Bang, langsung saja sekarang. Saya takut kalau kelamaan semakin banyak aib.” ***
Jaka Mulya, 2003 

OLO PANGGABEAN, The Real Medan Godfather




Olo Panggabean lahir di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka dipanggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.

Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok “Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari ke mana saja dia pergi. Sang “Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai atau mengabadikan dirinya melalui foto.

Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai “Kepala Preman”. Perawakannya sebagaimana orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Dia hanya mengenakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti mengeluarkan air mata, namun memiliki lirikan yang sangat tajam. “Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa suatu waktu. Meski begitu, pengawalnya rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah kelapa.
Olo Panggabean menjadi sosok yang diperhitungkan setelah dia keluar dari organisasi Pemuda Pancasila --saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah, mendirikan IPK. Di masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.

Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK, Olo kemudian membangun “kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan mengantarkannya dengan julukan “Ketua”. Selain kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga dikenal orang sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.

Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.

Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota Brigade Mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan-rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.

Pada pertengahan tahun 2000, dia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan.

Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak mengalami penurunan. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas habis sampai ke akar-akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin, Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.

Pada akhir 2008, Olo Panggabean kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda, yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual-beli tanah sebesar Rp20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Peduli kasih
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.

Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004, adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.

Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Februari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orang-tuanya tidak mampu. Di tengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, Olo Panggabean langsung bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.

Bahkan, saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan menggendongnya.

Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang terenyuh pada orang tua Angi dan Anjeli nyaris rubuh pingsan lantaran terharu. Maklum, setelah membiayai semua pengobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia menyambutnya di Bandara.

Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekadar membiayai pengobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan dan modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009 jam 14.00 di Rumah Sakit Glenegles Medan, Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun.

(sumber: Beritaunik.net) 

Kiat Bermigrasi yang Aman


Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah salah satu alternatif untuk memperoleh pengasilan ketika sudah tak tersedia lagi lapangan pekerjaan di negeri sendiri. Bahkan, menjadi TKI dapat mengasilkan uang yang berlebih karena nilai tukar mata uang asing lebih unggul dibanding Rupiah. Untuk menjadi TKI, bisa melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta yang ditunjuk oleh pemerintah. Masalahnya, menjadi TKI tidak semudah bayangan kebanyakan orang. Banyak calon TKI ataupun TKI yang dicurangi oleh oknum-oknum yang acapkali terlibat dalam urusan TKI. Untuk itu calon TKI harus waspada penuh dan mencari tahu sebanyak-banyaknya informasi untuk menghindari kecurangan-kecurangan dari pihak-pihak tertentu. Berikut ini adalah tips aman yang harus ditempuh demi keamanan calon ataupun TKI yang akan bermigrasi.

Sebelum Pemberangkatan
·         Pastikan Anda sudah masuk dalam ketentuan usia yang dijinkan oleh pemerintah, yaitu 18 tahun dan usia 21 tahun yang dianjurkan.
·         Carilah informasi yang benar ke Dinas Tenaga Kerja setempat, mantan buruh migran atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkonsentrasi terhadap isu buruh migran.
·         Tentukan negara tujuan yang dikehendaki
·         Pastikan KTP, Paspor, ijasah dan surat-surat lain yang dibutuhkan asli dan sesuai dengan data asal. Apapun alasannya, jangan biarkan pihak manapun (PJTKI/sponsor) memalsukan identitas Anda.
·         Simpan baik-baik KTP, Paspor, ijasah dan surat-surat penting lainnya yang asli dan jangan dipindahtangankan kepada siapapun.
·         Buatlah perencanaan keuangan dan tentukan apa yang menjadi prioritas Anda.
·         Sebelum berangkat ke penampungan jika ingin membawa alat perlengkapan sembahyang seperti mukena, usahakan tidak terlihat oleh petugas di penampungan atau bawalah kain lebar yang bisa digunakan sembahyang dan tidak serupa dengan mukena pada umumnya.
Ketika di penampungan
·         Tanyakan kepada pihak PJTKI seputar tanggung jawab pekerjaan, jam kerja, hari libur, dan gaji sesuai dengan aturan negara tujuan.
·         Mintalah surat kontrak kerja, teliti dan pahami isinya apakah sudah sesuai dengan kewajiban dan hak-hak anda mendapat hari libur, gaji yang sesuai, jenis pekerjaan dan alamat jelas majikan yang mempekerjakan Anda.
·         Mintalah salinan dari setiap surat yang anda tandatangani dan simpan baik-baik.
·         Waspada, jangan pernah mau untuk menandatangani kertas kosong.
Keberangkatan
·         Usahakan untuk meninggalkan salinan fotokopi paspor, KTP, alamat rumah majikan, alamat agen penyalur TKI di negara tujuan, dan kontrak kerja.
·         Gandakan salinan paspor, KTP dan dokumen anda dan simpanlah baik-baik untuk kepentingan Anda.
·         Simpanlah baik-baik tiket pesawat Anda.
·         Jangan pernah meminta siapapun yang tidak Anda kenal baik untuk menyimpankan paspor, KTP, kontrak kerja, dan dokumen penting Anda.
Di Negara tujuan tempat bekerja
·         Klarifikasi dan informasikan keberadaan Anda di negara tujuan kepada pihak keluarga di rumah.
·         Selama bekerja tetaplah menjaga komunikasi dengan pihak keluarga secara teratur.
·         Usahakan untuk menjalin komunikasi dengan sesama TKI di negara tujuan.
·         Catatlah kronologi, tanggal dan tempat semua kejadian penting yang anda alami. Jika memungkinkan kirimlah pesan singkat ke SMS gateway buruh migran di 087839790159 dengan format ketik BM(spasi)ISI PESAN.
Jika Anda bermasalah dengan pihak kepolisian atau pihak imigrasi di negara tujuan, segeralah menghubungi rekanan yang Anda kenal seperti KBRI, LSM, dan mintalah untuk didampingi pengacara. Bisa juga untuk mengisi lembar pengaduan di www.buruhmigran.or.id.

Jumat, 21 Desember 2012

Kisah Hamka di Penjara Sukabumi


Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama pena Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya.
“Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.
Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.
Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata: ‘Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini,’ ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalaman dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.
Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.”

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.

(Prof Dr Yunahar Ilyas, www.republika.co.id, Sabtu, 26 November 2011) 

Pesona “Miring” Gunung Kemukus


Kawasan wisata Gunung Kemukus merupakan sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut yang menjorok ke tengah Waduk Kedung Ombo, Sragen. Di sini terdapat komplek makam Pangeran Samudro yang ramai diziarahi setiap malam Jumat Pon (dalam penanggalan Jawa).

Secara geografis, kawasan wisata Gunung Kemukus terletak sekitar 29 Km di sebelah utara kota Solo. Dari Sragen berjarak sekitar 34 Km ke arah utara. Jarak tersebut bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari kota Sragen dapat ditempuh selama sekitar 45 menit dengan kendaraan bermotor melewati jalan Sragen – Pungkruk/Sidoharjo – Tanon – Sumberlawang/Gemolong – Gunung Kemukus. Sedangkan dari kota Solo dapat dicapai menggunakan kendaraan bermotor selama 30 menit, melewati jalan Solo – Purwodadi turun di Barong kemudian menuju Gunung Kemukus dengan perahu menyeberangi Waduk Kedung Ombo.

Komplek makam Pangeran Samudro terdiri dari bangunan utama berbentuk rumah joglo dengan dinding batu bata dan bagian atas berdinding kayu papan. Di dalamnya terdapat tiga makam: satu makam besar yang ditutupi kain selambu sebagai makam Pangeran Samudro dan R.Ay. Ontrowulan; dan dua makam lainnya adalah makam dua abdi setia Pangeran Samudro.

Kemudian di sebelah kanan makam terdapat sendang (sumber air) yang bernama “Sendang Ontrowulan”. Sendang tersebut merupakan tempat bersuci R.Ay. Ontrowulan ketika akan menemui puteranya yang sudah meninggal. Air sendang tersebut dikenal tidak pernah habis, sekalipun di musim kemarau.

Sejarah

Pangeran Samudro dan pengikutnya sebenarnya sangat diharapkan untuk kembali ke Kesultanan Demak oleh Sultan Demak. Namun, ajal terlebih dulu menjemput Pangeran Samudro. Sultan Demak mengatakan, “Menurut hematku bahwa sakitnya Si Samudro itu sudah tidak bisa diharapkan untuk membaik dan jauh kemungkinan untuk sampai ke Demak. Kiranya jika memang sudah menjadi suratan Yang Maha Kuasa bahwasanya sampai di situ saja riwayatnya, maka saya memberi petunjuk jika Si Samudro sudah sampai ajalnya, maka kebumikanlah jasadnya pada suatu tempat di bukit arah barat laut dari tempat Pangeran Samudro meninggal. Sebab, boleh jadi kelak di sekitar tempat itu akan menjadi ramai sehingga dijadikan teladan orang-orang di sana.”

Pada mulanya keadaan di lokasi Makam Pangeran Samudro sangatlah sepi dan jarang dijamah orang karena letaknya di tengah hutan belantara, serta banyak dihuni oleh binatang-binatang buas. Namun, sedikit demi sedikit keadaan berubah setelah daerah tersebut dihuni penduduk.

Konon di atas bukit tempat Pangeran Samudro dimakamkan, apabila menjelang musim hujan ataupun kemarau tampaklah kabut-kabut hitam seperti asap (kukus). Karena hal itulah, penduduk setempat menyebut bukit itu “Gunung Kemukus” sampai dengan saat ini.

Setelah menerima kabar dari abdi dalem Pangeran Samudro, Sultan Demak lalu menyampaikan berita meninggalnya Pangeran Samudro tersebut kepada ibu Pangeran Samudro, R.Ay. Ontrowulan. Terkejutlah beliau mendengar berita tersebut dan memutuskan untuk menyusul ke tempat Pangeran Samudro dimakamkan. Kepergian ibunda Pangeran Samudro ke makam puteranya diantar oleh abdi Pangeran Samudro yang setia. Ibunda Pangeran Samudro berniat untuk bermukim di dekat Makam Pangeran Samudro dan merawat makam puteranya tersebut.

Setelah tiba di pemakaman, ibunda Pangeran Samudro langsung merebahkan badannya sambil merangkul pusara putera satu-satunya yang amat dicintainya. Sampai pada suatu ketika ia merasa bertemu kembali dengan puteranya serta dapat bertatap muka dan berdialog secara gaib: “Oh Ananda begitu sampai hati meninggalkan aku dan siapa lagi yang kutunjuk sebagai gantimu, hanya engkau satu-satunya putraku dan aku tidak dapat berpisah denganmu”.

Pangeran Samudro menjawab: “Oh Ibunda, Bunda tentu tidak dapat berkumpul dengan Ananda, sebab ibunda masih berbadan jasmani dan selama belum melepas raga, untuk itu harus bersuci terlebih dahulu di sebuah ‘sendang’ yang letaknya tidak jauh dari tempat ini.”

Setelah terbangun dan tersadar dari pertemuan dengan puteranya, ibunda bangkit dan pergi ke sendang yang dikatakan puteranya untuk bersuci. Setelah itu, rambutnya yang sudah terurai dikibas-kibaskan dan jatuhlah bunga-bunga penghias rambutnya. Konon bunga-bunga tersebut tumbuh mekar menjadi pepohonan “Nagasari” yang dapat dijumpai di sekitar lokasi hingga kini.

Lantaran tebalnya rasa kepercayaan ibunda Pangeran Samudro yang melampaui batas keprihatinan, ibunda akhirnya dapat mencapai muksa secara gaib sampai badan jasmaninya. Tak seorang pun tahu ke mana perginya R.Ay. Ontrowulan atau dengan kata lain ibunda Pangeran Samudro hilang tak tentu rimbanya. Untuk mengenang peristiwa bersuci R.Ay. Ontrowulan, lalu diberi nama “Sendang Ontrowulan”.

Sampai kini, pemakaman Pangeran Samudro nyaris tak pernah sepi peziarah. Setiap hari selalu ada peziarah kendati tidak banyak. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang melakukan suatu pantangan/sesirih tertentu, misalnya melakukan pati geni selama beberapa hari di sana. Biasanya setiap Kamis malam Jum’at jumlah pengunjung lebih banyak daripada hari-hari biasa.  Dan setiap Kamis malam Jumat Pon dan Kamis malam Jumat Kliwon merupakan puncak kunjungan wisatawan/peziarah. Tidak kurang dari 10.000 pengunjung dari berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa datang untuk berziarah di tempat ini.

Puncak kunjungan peziarah terjadi setiap malam Jumat Pon di bulan Suro (kalender Jawa). Di bulan Suro, pengunjung malam Jumat Pon mencapai 15.000 orang dan pada malam Jumat Kliwon mencapai 7.000 orang. Pada hari pertama di bulan Suro diadakan ritual pencucian selambu makam Pangeran Samudro, yang biasa disebut dengan ritual Larab Slambu/Larab Langse, yang dilanjutkan dengan pentas wayang kulit semalam suntuk sebagai acara rutin tahunan di obyek wisata ini.

Mengapa puncak di malam Jumat Pon? Menurut tradisi dan literatur yang ada, hal ini bertolak dari kisah pada zaman kerajaan Demak. Pada suatu ketika di hari Jumat Pon, setelah Sultan Demak melaksanakan shalat berjamaah (Jum’atan), beliau melayangkan pandangannya ke atas dan dilihatnya sebuah bingkisan. Kejadian tersebut tidak diketahui oleh seorang pun kecuali oleh Sultan sendiri. Bingkisan tersebut lalu diambil dan di dalamnya terdapat kain putih yang bertuliskan “Ini adalah pakaian untuk bekel (Senopati) Tanah Jawa”. Sebuah benda berbentuk “Kotang Ontokusumo”. Kemudian menurut adat, pakaian ini dikenakan oleh orang yang akan memangku jabatan Pangeran Pali.

Kejadian itu lalu dijadikan sebagai ketentuan dengan para wali. Ketentuan di mana apabila Sultan Demak berkenan mengadakan pertemuan dengan para wali, maka waktunya ditentukan tepat pada hari Jumat Pon untuk memperingati peristiwa penemuan Pusaka Kotang Ontokusumo.

Berdasarkan pada cerita tersebut, masyarakat sekitar kantas menjadikan malam Jumat Pon sebagai puncak tahlilan/do’a bersama. Sampai saat ini, pada setiap malam Jumat Pon banyak orang berduyun-duyun datang untuk berziarah ke Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus.

Inti ziarah

Di kalangan orang Jawa sempat berkembang ihwal makna ziarah dalam mencapai sebuah cita-cita. “Sing sopo duwe panjongko marang samubarang kang dikarepke bisane kelakon iku kudu sarono pawitan temen, mantep, ati kang suci, ojo slewang-sleweng, kudu mindeng marang kang katuju, cedhakno dhemene kaya dene yen arep nekani marang panggonane dhemenane” (Kadjawen, Yogyakarta: Oktober 1934)
Petikan naskah atau wacana tersebut memang dapat ditafsirkan keliru, khususnya oleh masyarakat awam. Ada pendapat yang keliru yang mengatakan bahwa apabila berziarah ke Makam Pangeran Samudro harus seperti ke tempat kekasih/dhemenan. Dalam pengertian bahwa berziarah ke sana harus membawa isteri simpanan atau teman kumpul kebo serta melakukan hubungan seksual dengan bukan isteri atau suami yang sah.. Parahnya, pendapat tersebut telah diterima oleh sebagian besar masyarakat.

Munculnya pendapat tersebut bermula dari penafsiran pengertian kata “dhemenan”. Pengertian kata “dhemenan” dalam bahasa Jawa diartikan kekasih lain yang bukan isteri/suami sah (pasangan kumpul kebo), kekasih gelap, isteri/suami simpanan. Sehingga, pengertiannya menjadi apabila ziarah ke Makam Pangeran Samudro harus membawa dhemenan. Dan inilah yang kemudian menjadi semacam pesona miring Gunung Kemukus.

Arti sesungguhnya dari kata “dhemenan” dalam konteks naskah dalam bahasa Jawa tersebut adalah keinginan yang diidam-idamkan, cita-cita yang ingin segera terwujud/tercapai seperti seakan-akan ingin menemui kekasih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inti ziarah di Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus adalah apabila punya kemauan, cita-cita yang ingin dicapai atau apabila menghadapi rintangan yang menghalangi jalan untuk mencapai cita-cita/tujuan tersebut harus dilakukan dengan cara sungguh-sungguh, hati yang bersih suci dan konsentrasi pada cita-cita dan tujuan yang akan dicapai/dituju. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk mencapai cita-cita dan tujuan tersebut dengan mudah.

Masih saja miring

Suatu malam Jumat Pon, sebagaimana dilansir koran Jawa Pos, tempat peziarahan Gunung Kemukus penuh sesak para pengunjung. Meskipun lokasinya kini sudah terpisah dengan daratan Kecamatan Sumberlawang, akibat genangan air proyek waduk raksasa Kedung Ombo beberapa tahun lewat, namun minat para peziarah yang berdatangan dari berbagai daerah nyaris tak pernah surut.

Dengan menggunakan sampan, mereka dengan sabar meniti perairan Kedung Ombo untuk bisa mencapai lokasi Gunung Kemukus. Ini merupakan satu-satunya cara menuju tempat itu, setelah jembatan beton penghubung antara Kecamatan Sumberlawang dan Gunung Kemukus lenyap ditelan genangan air waduk.

Ongkos menuju ke sana memang menjadi lebih mahal sejak hubungan darat terputus oleh genangan waduk. Sebab, selain harus membayar retribusi, parkir mobil/sepeda motor, membeli seperangkat alat berziarah seperti kembang, minyak wangi, dan kemenyan madu, para peziarah sekarang juga harus membayar ongkos penyeberangan yang cukup mahal. “Tapi kalau pas musim kemarau panjang, biasanya debit air waduk turun drastis. Pada saat itulah jembatan beton tampil lagi ke permukaan, sehingga para peziarah bisa ke Gunung Kemukus lewat darat,” tutur Paryanto, seorang nelayan setempat yang juga bertindak sebagai penyedia jasa penyeberangan perahu.

Apalah artinya ongkos mahal dibandingkan dengan berkah yang bakal di bawa pulang para peziarah? Setidaknya ada dua alasan, mengapa banyak orang dari berbagai penjuru daerah masih suka berbondong-bondong untuk ngalap berkah (mengais rezeki) ke makam Pangeran Samodro, yang punden-nya berada tepat di puncak Gunung Kemukus? Pertama, tentu tak lepas dari rezeki. Sedang yang kedua berkaitan erat dengan birahi.

Konon, bagi kaum perempuan, berziarah ke makam Pangeran Samodro, diyakini bisa mendatangkan banyak rezeki. Itu sebabnya, perempuan-perempuan yang berziarah ke sana sebagian besar berprofesi sebagai pengusaha. Baik pengusaha penggilingan padi, pengusaha rumah makan, pedagang pasar, dan lain sebagainya.

Celakanya, apabila keinginan mereka ingin cepat terkabul, konon selepas melakukan ritual peziarahan yang diawali dengan mandi di sendang serta melantunkan doa-doa khusus yang dibimbing seorang juru kunci makam Pangeran Samodro, para peziarah perempuan harus menjalani ritual lainnya, yaitu mandi birahi dengan lelaki yang bukan suaminya.

Bagaimana mereka bisa saling berjodoh dalam petualangan yang terkesan liar itu? Sejak Kamis Pahing (siang hari), rombongan peziarah --baik laki-laki maupun perempuan-- yang belum saling kenal sering kali bercanda terlebih dulu. Bagi yang sudah paham, bahwa memburu berkah ke Gunung Kemukus seseorang harus berani bercinta dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, biasanya lantas mengikat janji.
Bilamana janji sudah disepakati, maka pada malam Jumat Pon seusai menjalani prosesi ziarah di makam Pangeran Samodro, berpasang-pasang kekasih dadakan tadi bebas melakukan apa saja, termasuk berhubungan intim layaknya suami-isteri. Terus di mana mereka harus bersebadan?

Di masa lalu, ketika segala sesuatu masih gampang ditutup dengan uang, adegan seks bebas bisa dengan aman dilakukan di semak-semak atau di balik rerimbunan pohon sekitar kompleks makam. Mereka begitu santai dan tidak merasa risih walau di sela-sela rerimbunan pohon ada sepasang mata yang mengintipnya.

Karena adegan demi adegan orang dewasa saat itu bisa dipertontonkan secara vulgar, maka Gunung Kemukus pun di cap masyarakat luas sebagai tempat peziarahan paling mesum di Indonesia. Atas tudingan ini, Pemerintah Kabupaten Sragen sempat kebakaran jenggot. Operasi yang melarang perbuatan mesum di sekitar makam Pangeran Samodro pun digelar saban malam Jumat Pon. Namun operasi itu terkesan setengah hati. Pemkab tidak berani menutup sama sekali tempat peziarahan tersebut, lantaran sumbangan yang diberikan untuk memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD), tergolong besar. (dari berbagai sumber)